"Tahukah organ apa yang sulit dikendalikan? Ya, semenit ... bahkan sedetik saja hati seseorang bisa berubah semudah itu. Tak ada yang tahu isinya kecuali Dia."
MENEGUK ludah, Ruby melirik Varden yang tengah sibuk membaca buku, alih-alih mendengarkan penjelasan guru di depan. Rasanya Ruby ingin menegur Varden kalau buku paket yang ia bawa itu harus dibagi dengan teman sebangku. Namun, laki-laki itu malah menikmatinya sendirian.
"Varden, bukunya taruh di sini." Ruby menepuk-nepuk perbatasan mejanya dengan meja Varden.
"Ruby juga pengin liat!"
Varden melirik Ruby sekilas, sepertinya laki-laki itu tak ada niatan untuk menggeser bukunya ke samping barang satu senti saja.
Ruby mendengkus kasar. "Varden, bukunya geserin dikit, ih."
Terdengar ketukan kecil dari arah depan. Ruby mengalihkan pandangannya kepada Bu Ametrine—guru fisika Jewel High School. Tampak guru muda itu sudah siap memberikan soal kepada murid-muridnya, Ruby masih belum benar-benar mengerti dengan materi di depan. Karena sedari tadi gadis itu sibuk melirik buku paketnya yang ada di tangan Varden.
"Kamu ... yang pakai jam tangan coklat bisa maju ke depan untuk menjawab soal yang Ibu berikan." Tunjuk Bu Ametrine ke arah Varden. Cowok itu sigap bangun dari tempat duduknya lalu maju ke depan.
Akhirnya Ruby bisa bernapas lega. Gadis itu menarik buku paket yang ada di meja Varden lalu membaca secara kilat. Ruby tidak ingin nanti saat ditunjuk untuk mengerjakan soal di depan malah tidak bisa menjawab.
Ruby mengalihkan pandangannya ke arah Varden, laki-laki itu menjawab soal tanpa ragu. Ruby sedikit kagum. Semuanya memberi tepuk tangan ringan kepada Varden setelah laki-laki itu selesai menjawab soal.
"Yang duduk di samping Varden bisa maju untuk menjawab soal selanjutnya," perintah Bu Ametrine. Saat hendak maju ke depan, entah sengaja atau tidak, Varden merentangkan kakinya sehingga Ruby hampir terjungkal ke depan.
Gadis itu menggigit bibirnya, menahan jengah. Semua siswa-siswi yang ada di kelas hampir meledakkan tawanya jika saja Bu Ametrine tidak menegur.
"Kamu keliatan kayak orang pintar. Soal ini mudah, kamu pasti bisa mengerjakannya." Bu Ametrine memberikan spidol hitam kepada Ruby.
Gadis itu mulai mengerjakan soal satu persatu walau sempat berpikir lama saat bagian menghitung. Lima belas menit kemudian, Ruby telah selesai mengerjakan soal yang ada di papan bertepatan dengan bunyi bel istirahat.
Semua siswa-siswi yang ada di kelas langsung berhamburan keluar. Kecuali Varden, cowok itu diam di bangkunya sembari memainkan ponsel, sedangkan Ruby berdiri kikuk di depan papan.
Haruskah Ruby mencari teman baru? Atau cari Dilan ke kelas?
"Den, lo gak bisu, kan? Bisa-bisanya lo betah diem aja di kelas," celetuk seorang laki-laki yang tak lain adalah sahabat Varden, Caesar namanya.
Merasa tak ada jawaban dari Varden, Caesar berinisiatif untuk melirik apa yang dilakukan Varden dengan ponselnya. "Widih, lagi chek out di aplikasi S, ya? Gue juga dong, Den. Lo, kan, sultan!"
Varden melirik Caesar dingin. "Gue? Sultan?"
"Apartemen lo yang mewahnya kayak istana presiden itu udah membuktikan semuanya, tau!"
"Ck, alay!" Caesar merenggut lucu. Berbeda dengan Varden yang dingin, Caesar adalah orang yang ramah dan mudah berteman.
"Den, ada cewek cantik diem di depan papan, sikat gih, dia sendirian, tuh. Jangan dianggurin!" Caesar melirik Ruby yang masih diam di tempatnya. Gadis itu terlihat kikuk berdiri di depan papan tulis seraya memegang spidol.
"Cantik apanya?" tanya Varden.
"Positif thinking aja, mungkin mata lo minus parah, Den."
Caesar menggelengkan kepala, bertanya-tanya mengapa sahabatnya begitu anteng membaca bak kutu buku kebanyakan, eh, tetapi ini tampangnya di atas rata-rata. Harusnya dia sudah tidak heran lagi.
"Hei, lo anak baru, ya?" Caesar tak ada pilihan selain mendekati Ruby yang malu-malu itu, kentara sekali kalau dia belum beradaptasi sepenuhnya.
Ruby yang merasa terpanggil menoleh, kemudian mengangguk mengiyakan.
"Nama gue Caesar Arthur, panggil Caesar aja," ucap Caesar sambil menyunggingkan senyum ramah, yang malah terkesan memikat. Ruby melongo senang.
"Ruby Jewelicca, suka dipanggil Ruby. Wah, akhirnya Ruby nemu makhluk individu yang juga cogan selain Varden!"
Ruby mengatakan hal itu dengan semangat empat lima. Menampilkan wajah tanpa dosa di depan Caesar yang sekarang menggaruk tengkuk tertular takjub milik gadis itu. "Tunggu-tunggu, gue masih memproses ini semua. Astaga!"
"L-lo jangan ngomong ... kalo lo pencinta—maksud gue, penggila orang tampan?"
Ruby memiringkan kepala. Tak tahu cara merespon ucapan yang keluar dari mulut Caesar yang kilat dalam satu kali napas.
"Maaf, Ruby nggak tau Caesar ngomong apa, soalnya cepat banget."
"Ah, ya, ampun! Gue sampe nggak sadar saking kagetnya!" seru Caesar yang tak enak pada Ruby yang berstatus murid baru, karena di hari pertama sudah harus berhadapan dengan orang yang bar-bar seperti dirinya.
"I-iya, nggak masalah! Kalo gitu, Ruby senang ketemu Caesar. Jadi nambah stok teman baru yang plus-plus!" Ruby menarik kedua tangan Caesar dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Plus-plus?" beo Caesar.
"Iya, Caesar dan Dilan, 'kan, sama-sama ganteng! Ruby ngerasa beruntung bisa ketemu kalian."
Sejujurnya hari ini cowok itu sangat syok akan tingkah Ruby yang tak bisa diperkirakan. Caesar ingin memijat pelipis, kepalanya mendadak pening. Gadis yang memiliki nama unik itu ternyata berbeda sekali dengan penampilan sebelumnya tadi. Luar biasa!
"Caesar mau kenalan sama teman Ruby yang Dilan, mau?" Ruby mengeluarkan ekspresi termelas yang dia punya agar Caesar luluh. Cowok itu jadi merasa terbebani dan berniat pasrah saja.
"Kalian ...." Keduanya sontak menghentikan aksi memalukan itu—bagi Caesar saat mendengar suara dan aura yang mengintimidasi dari bangku Varden.
"Kayak lintah dan pacet di hutan." Jleb. Lanjutan dari Varden itu membuat Caesar melotot dan berdecak sebal.
"Den, apa perumpamaannya perlu gitu amat? Nggak bisa diganti ke hewan lain?"
Kicauan Caesar tak dihiraukan oleh Varden. Cowok itu menggedikkan bahu—menekuni aktivitasnya kembali, sedangkan Ruby sendiri meringis. Berusaha membiasakan telinganya.
Ruby hanya bisa menggerutu di dalam hati, merutuki sarkasme yang dilempar Varden. Gadis itu mempertebal kesabaran untuk tidak memaki sang majikan, lalu berkata pada Caesar, "Eh, Caesar mau enggak, nih? Biar memperluas lingkup pertemanan, gimana?"
"Boleh, sih, tawaran lo." Caesar yang mendominasi perdebatan antara dia dan sahabatnya berhenti. Cowok jangkung itu menatap Ruby lagi.
"Ayolah! Gue belum ada teman sepermainan selain si cecunguk satu ini. Gue butuh komunikasi lebih karena bersosialisasi lebih jauh itu pen—"
"Bacot lo."
"Eh, Varden sejak kapan?" Entah dari kapan, Varden sudah berada di sebelah Ruby yang mengusap dada. Bisa dipastikan mimik wajah gadis itu seakan sedang mengalami jantungan saking belum terbiasa.
"Temenin gue ke kantin." Ruby hendak mengajukan protes, tetapi gadis itu memilih kicep.
"Nggak ada penolakan. Iya atau lo kurung di rumah gue semalaman?"
"Woi, Varden! Lo mau ngapain anak gadis orang, hah?" tanya Caesar.
"Jaga mulut atau lidah lo gue potong?" Sedetik berikutnya, Caesar menyesali pikiran kotor yang tebersit di kepala.
***
Gaes, yang mau nambah amal kebaikan, hayuk ikut share EE alias Emerald Eye's ke teman-teman yang punya wp😗
Gimana? Ceritanya udah bikin nagih gak?
Biar lapak ini makin rame sama komen dari readers sekalian. Bisa mengobati dan menghibur kan di kala bosen rebahan😂
KAMU SEDANG MEMBACA
Emerald Eyes ✓
Teen Fiction°Budayakan vote dan follow° Writer by @HaifaKamila & @mdyunitaa #JewelHighSchoolSeries1 (15+) *** Takdir merenggut segalanya sejak Ruby menginjak usia 15 tahun. Sewaktu menemukan profesi yang cocok, tidak terima saat toko tempat Ruby bekerja memecat...