"Banyak misteri membelit beragam kenyataan, satu per satu berdatangan tak terhingga mengundang rasa jenuh dan lelahnya."
Gadis berusia 15 tahun itu memandangi Varden dan Fantasius Aleron—ayah pacar settingan-nya dengan binar polosnya. Akhirnya mengerti usai menerima pengertian tentang hubungan yang membelit kedua lelaki beda generasi itu.
"Jadi ayah sama anak? Ruby kira kakak sama adek, loh."
"Astaga, yang benar aja. Papa dikira kakak Ale, saking mudanya, ya. Padahal Papa tuir, udah kepala empat." Fantasius tergelak mendengar pertanyaan memastikan Ruby.
Beliau menepuk-nepuk gemas punggung Tunggal Aleron yang menggeram tanpa menghentikan tawanya yang tampan.
Ketiganya pindah ke tempat yang lebih sepi, di cafetaria terdekat. Ruby malu jika harus menjadi pusat perhatian nantinya. Mudah saja mengajak ayahnya tetapi yang sulit itu adalah ketika membujuk Varden yang berkepala batu.
Ucapan pedasnya selalu berhasil membuat darah tinggi gadis itu naik, beruntungnya dia bisa diajak kerja sama untuk kali ini, dengan menyetujui imbalan kalau Ruby mau tak mau harus membersihkan toilet dan memasakkan makanan selama lima belas hari.
"Calon menantu saya harus banyak makan, biar nggak terlalu kurusan. Ale, mana uangmu? Traktir, ya!" Fantasius melambaikan tangan, memanggil waitress yang berdiri tak jauh dari meja agar mendekat ke arah mereka.
Meski Ruby sudah menolak tawaran beliau, ayah dari pacar settingan-nya tak menghiraukan—tetap memesankan menu untuknya. Gadis itu jadi merasa tidak enak hati diperlakukan sehangat itu.
"Uang? Anda mau memeras saya?" Nada Varden terlalu ketus sebagai seorang anak yang menjawab pertanyaan ayahnya.
Apa ini? 'Kacamata' Ruby seakan melihat dinding tak kasat mata yang membentengi keduanya, hubungan mereka seperti tak rukun. Berinisiatif, Ruby bergegas membuka suara agar suasana yang mencekam ini secepatnya musnah. "Ruby bisa bayar sendiri, O-Om."
"Kelinci, lo, kan, miskin. Emang bisa bayar pesanan di sini?" bisiknya menyebalkan. Ruby tersenyum kikuk.
Kalau dipikir-pikir, harga menu makanan dan minuman di sini tergolong masuk ke dompet anak-anak konglomerat dan kelas atas. Tidak diperuntukkan ke kelas menengah seperti Ruby yang harus mati-matian menjaga uangnya yang gampang ludes jika menuruti keinginan mata dan perut.
Ruby perlu menghemat pengeluaran tiap bulannya, hal signifkan itu mengubahnya menjadi gadis yang cermat dan penuh perhitungan. Apa-apa harus dipikir matang-matang, tak boleh asal comot. Walau diajak mengobrol selama sejam empat puluh lima menit oleh Fantasius, gadis itu masih bersikeras untuk tak memesan apa-apa dan hanya minum air putih gratisan. Miskin? Ruby tak bisa menyangkal, tetapi 'Kelinci' maksudnya apa? Nama kesayangan, hah?
Dia melirik Varden yang cuek dengan sebal. Cowok itu tak peduli atau memang tak peka terhadap kode? Ruby jadi meragukan sikap manis yang ditunjukkan Varden akhir-akhir ini, sebenarnya apa penyebab utama perubahan sikap Varden yang drastis?
"Apa?" Ruby menggembungkan pipi tembemnya dan memalingkan wajah. Gadis beriris coklat madu itu menendang tulang kering cowok itu sehingga Varden mengaduh.
"Ruby kenapa? Mukamu kayak badmood gitu, nggak suka saya pesenin hotdog sama pizza?"
"Eungh ... bukan, Om. Ruby cuman mikirin ayam atau telur, siapa yang duluan?" Konyol. Ruby merutuki mulutnya yang asal jeplak. Bagusnya, dia memperoleh fenomena langka yaitu Varden yang tertawa terpingkal-pingkal. Apakah mungkin leluconnya lucu?
Gadis itu seketika terpesona, takjub pada tawa yang lepas milik cowok itu untuk pertama kalinya. Fantasius? Kepala keluarga yang menyandang marga Aleron itu tersenyum tipis, menyimpan berbagai sarat akan makna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Emerald Eyes ✓
Teen Fiction°Budayakan vote dan follow° Writer by @HaifaKamila & @mdyunitaa #JewelHighSchoolSeries1 (15+) *** Takdir merenggut segalanya sejak Ruby menginjak usia 15 tahun. Sewaktu menemukan profesi yang cocok, tidak terima saat toko tempat Ruby bekerja memecat...