'BAB 20'

65 33 12
                                    

"Aku adalah seseorang yang mencintainya secara utuh, meski dicintai secara separuh."

S

eorang wanita paruh baya terbaring lemah di atas ranjang. Selimut tebal menutupi setengah badannya yang kurus kering. Wajahnya pucat, tetapi bibirnya tak berhenti memancarkan senyuman tulus. Seorang anak laki-laki berusia empat belas tahun duduk di samping wanita itu meneteskan air matanya. Dadanya sesak, tidak sanggup melihat sang ibu menahan sakit begitu lama.

Varden menggenggam tangan Lyana hangat, dia tidak akan membiarkan ibunya pergi. Karena Lyana adalah orang yang paling berharga di hidupnya.

"Mama cepet sembuh, ya. Setelah Mama sembuh, Varden janji nggak akan nakal lagi." Laki-laki itu mengecup singkat punggung tangan beliau membuat Lyana mengulas senyum.

"Papa mana, Ale?" tanya Lyana, wanita itu mengusap pipi Varden lembut.

Varden mendecih, tidak suka saat Lyana membahas Fantasius, mengingat bagaimana pria itu mengenalkan selingkuhannya terang-terangan dua hari yang lalu. Varden benci itu, saat di mana Lyana mencoba mati-matian melawan sakitnya, sedangkan Fantasius malah bersenang-senang di luar sana. Varden menyebut Fantasius 'Ayah dan suami yang tidak berguna.'

Itu memang benar adanya.

"Mama nggak usah mikirin Papa, dia pasti lagi senang-senang jajan wanita lain di luar sana," decak Varden. Netranya melirik gelas kaca yang tadinya berisi air, kini telah kosong. Dia berniat untuk mengambilkan air lagi untuk Lyana, mengingat sekarang waktunya wanita itu untuk meminum obat.

"Sebentar, Ma, Varden mau ambil air buat Mama." Varden segera pergi ke dapur dan kembali lagi dengan segelas air. Cowok itu menyodorkan tiga biji obat dan segelas air kepada Lyana.

Bukannya meminumnya, Lyana malah mendorong obat dan air itu menjauh darinya.

"Percuma, Ale, kanker Mama udah stadium akhir. Nggak akan bisa sembuh," ujar Lyana lesu. Terus-terusan meminum obat dan mengajaknya pergi ke dokter hanya akan membuang-buang uang. Karena Lyana tahu, itu semua akan sia-sia saja. Wanita sudah pasrah pada penyakitnya.

Varden berdecak kesal, benci mendengar ucapan Lyana. Ibunya pasti akan segera sembuh, Varden yakin itu!

"Ma, jangan ngomong gitu, Varden nggak suka." Laki-laki itu kembali menyodorkan obat ke arah Lyana, tetapi dibalas dengan penolakan.

"Ale, ada baiknya kamu pergi keluar, main sama temen-temenmu. Dari dulu kamu selalu jagain Mama, emang kamu nggak bosen?" tanya Lyana, walau tahu jawaban Varden masih tetap sama.

"Nggak. Mama itu prioritas Varden."

"Ale selalu gitu." Lyana mengerucutkan bibirnya lucu, membuat Varden tertawa kecil.

"Nah, sekarang Mama minum obat, ya?" bujuk Varden, Lyana menggelengkan kepala. Wanita itu menutup mulutnya ketika batuk yang tiba-tiba saja melanda. Darah, itu yang pertama kali terlihat saat Lyana menyingkirkan tangannya.

Varden kaget bukan main, spontan meletakkan obatnya di atas nakas lalu menatap Lyana khawatir.

"Varden harus panggil Papa, Ma!" Lyana hendak bangun untuk menghentikan Varden, tetapi sayangnya tubuhnya terlalu lemah untuk melakukan itu. Dia pasrah saat melihat Varden yang sudah menghilang dari kamar.

Di sisi lain, Varden baru saja sampai di kantor dan langsung berlari menuju ruangan Fantasius. Ketika pintu ruangan dibuka, Varden disuguhkan pemandangan Fantasius yang tengah bercumbu dengan selingkuhannya. Fantasius kaget bukan main saat mendapati Varden berdiri di ambang pintu, dan dia lebih kaget lagi ketika melihat penampilan Varden yang berantakan.

Tidak perlu basa-basi, Varden menyeret paksa Fantasius dan selingkuhannya menuju rumah tanpa menjelaskan apa pun. Selama perjalanan pun, Varden hanya diam, sangat enggan untuk membuka obrolan. Dia marah karena pria tua itu tidak pernah sedikit pun mengkhawatirkan Lyana dan marah karena Fantasius sering menyakiti hati Lyana.

Membuat hati wanita yang penuh ketulusan itu terluka lagi, lagi, dan lagi. Varden dongkol tiap kali Lyana memaafkan semua perbuatan suaminya.

Sesampainya di rumah, ketiga orang itu dikejutkan dengan Lyana yang sudah meregang nyawa. Fantasius frustrasi, dan Varden menangis histeris sembari memeluk ibunya yang sudah tiada. Dia menyesal karena tidak ada disaat-saat terakhir Lyana.

•••

Ruby mendongak dari bantalnya ketika seseorang mengetuk pintu kamar. Menemukan siluet tubuh Kenanga yang muncul di ambang pintu. "Lo kenapa nangis, Ruby?!"

"R-Ruby nggak apa—" Kenanga yang khawatir akan wajah Ruby yang banjir oleh linangan air mata langsung bergegas membawa Ruby ke rengkuhan, pelukan seorang kakak.

"Jangan khawatir your eyes! Mata lo sampe bengkak, lo bilang nggak apa-apa?" sela Kenanga yang memegang wajah gadis itu yang memerah, akibat terlalu lama menangis.

"Lo kenapa, By? Ngomong sama gue, jangan dipendem melulu!"

Ruby berusaha membuang wajah, enggan menatap mata Kenanga yang menilik dirinya, sarat akan penasaran. Tak bisa menjelaskan alasan mengapa dia menangis, lidahnya terasa kelu. Tenggorokannya sesak dipenuhi rasa perih yang disebabkan satu orang yang telah mengambil hatinya, cowok dengan iris hijau zamrud yang langka. 

Tadi pagi Ruby mengajak Varden untuk berkencan di taman yang berciri khas air mancur, berpusat di kota. Awalnya kencan keduanya baik-baik saja, dia senang sebab bisa menggandeng tangan Varden ke sana-kemari, walaupun cowok itu hanya diam membisu.

Ruby bahagia dan bisa tertawa lepas setelah melewati masa-masa buruk yang dialaminya karena Varden yang banyak menuntut ini-itu padanya, padahal dulu cuek bebek pada penampilan dan poster badannya yang terlampau mungil. Ruby heran tatkala Varden mulai perhitungan terhadap biaya pacaran pura-pura di tempat umum, bahkan meneriakkan harga yang harus dikeluarkan saat keluar jalan-jalan.

Ruby sangat jengah, menyesali ajakan kencannya saat itu—setengah jera. Kalau dipikir-pikir, porsi makan gadis beriris secoklat madu itu pun normal, tak seperti yang dilontarkan Varden di dekat bapak-bapak pedagang kaki lima tempo hari. Varden sampai membacakan semua daftar biaya yang dibelikan cowok jangkung itu untuknya.

"Ruby nggak paham lagi, Kak!" pekiknya frustrasi. Kenanga mengelus punggungnya, menyimak sambil memperhatikan raut serta aura yang menguar dari tubuh gadis mungil ini.

"Ruby tau sifatnya gimana, Ruby maklum sama sikapnya yang ngeselin. Tapi kalo sampe diputusin, Ruby ... Ruby ...." Gadis itu kembali terisak, mendekap bantalnya yang terdapat bekas ingusnya di sana.

Ruby memang mudah menerima perilaku cencala para lelaki termasuk Varden yang mendekatinya, tetapi gadis itu mempunyai batas toleransi yang ditetapkannya selama dia hidup. Tentu Lilian yang mengajari, makanya Ruby bisa tumbuh dengan segala sifat idaman bagi rata-rata kaum Adam.

Semua anggota tubuhnya tak bisa diajak kompromi. Rasa lelah, marah, sedih, kesal, bercampur menyatu dalam rongga dada. Lelah karena menangis seharian, sedih dan kesal karena Varden memutuskan hubungan mereka, dan kesal karena perkataan Ruby tak diindahkan sama sekali.

"Ruby, lo harus sadar. Jangan mau terjebak toxic relationship sama dia!" saran Kenanga setelah gadis yang dianggap adik kandung menandaskan ceritanya.

Ruby menunduk, berusaha mencerna secara dua arah, logika yang tengah beradu argumen dengan perasaan. Melepaskan atau mempertahankan mati-matian, manakah yang harus dipilihnya? Dia kepalang dilema.

"Ruby ... kayaknya nggak bisa, Kak."

******
Ruby ngenes ya, Bund. Gadis yg polos2 lucu ini dibikin nangis karna putus cinta😭

Nah, udah terjawab blom knp Varden benci bngt ama Yelena Dave?

Emerald Eyes ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang