"Lisan dan ketikanmu adalah aspek utama karakteristik seseorang dan salah satu faktor seseorang menilai dirimu. Jadi berhati-hatilah selalu."
Ruby yang menyimak percakapan antara potong-memotong lidah yang disebutkan Varden, spontan merangkul tangan cowok itu agar segera menghentikan tindakannya menggelogok pergerakan Caesar.
Ruby tidak akan membiarkan pertumpahan darah merajalela di hari pertama bersekolah di Jewel High School.
"Iya-iya, Ruby ikut, tapi jangan ngancam teman Varden, ya!" sergah Ruby berusaha mencairkan suasana yang terasa mencekik leher.
"Lagian Ruby, kan, harus ngelakuin kewajiban, 'kan?" bisik Ruby ke telinga Varden. Lalu, mengalihkan atensi ke Caesar yang mengecek lidahnya masih aman atau tidak, sepertinya dia telanjur ketakutan.
"Caesar, jangan suka cari masalah sama Varden. Yang akur, dong!" peringatnya.
Ruby tak mau Caesar sampai babak belur—apalagi kalau cowok itu sampai absen di sekolah, gadis itu akan kesepian karena tak ada teman mengobrol selain Dilan.
Caesar menyugar rambut berlagak keren.
"Kalo cuman berdua, nggak enak. Caesar diizinkan ikut, ya? Boleh?" Gadis berambut bergelombang itu menyipitkan mata, membentuk eyesmile miliknya—berharap itu bisa mempan, walaupun dia tahu akan percuma.
"Hm." Sebuah dehaman singkat menjawab permohonannya. Ruby memiringkan kepala lagi, bagaimana caranya dia mengartikan kode yang ambigu dari cowok irit bicara ini?
"Maknanya ada dua? Antara iya sama enggak. Mana yang dominan?" gumam Ruby.
Sebagai pembantu, penting melatih kepekaan terhadap perintah majikan. Ruby pun mengandalkan otak cerdas dan hatinya menyelami pengalaman lama. Dia sudah pernah belajar dari Lilian, sang bunda. Unsur intonasi ini menjurus ke mana?
"Ruby nggak dapet pencerahan." Ruby melempar sinyal kepada Caesar yang berjalan karena tertinggal di belakang, gadis itu meminta bantuan.
Ruby memelankan langkahnya yang sebelumnya mengekori Varden. Setelah sejajar dengan Caesar. Ruby berujar, "Caesar. Ruby mau nanya!"
"Ya, tinggal nanya aja ke intinya. Buat apa minta izin?" Caesar terlihat ogah-ogahan menanggapi Ruby usai pertengkarannya dengan si sahabat laknat.
"Caesar, maafin sikap Varden. Ruby baru tahu dia bisa sekasar itu sama Caesar. Tolong jangan marah." Tersenyum lirih, berat hati mengatakannya. Gadis itu mau tidak mau mewakili majikan untuk meminta maaf kepada orang lain. Yah, Ruby sedang menjalani tugas entah ke berapa kali. Tugas tersurat maupun tersirat.
"Kok, jadi elo yang minta maaf? Lo nggak salah apa-apa ke gue, Ruby. Si cecunguk itu yang main ngancam bikin gue gedeg." Caesar memutar kedua bola mata malas ketika netranya memandangi punggung tegap Varden yang berjalan tanpa beban, telinganya tersumbat headset putih kesayangan.
"Tetap aja Ruby minta maaf. Varden kayak gitu mungkin mood-nya lagi jelek." Ruby menghela napasnya, Caesar mengikuti.
"No problem, By. Wajar aja, lo belum lama kenal dia, kan? Soalnya gue jarang banget liat Varden yang sering menghindar pas dideketin cewek, malah anteng bareng sama lo. Asli, gue kepo sama kronologisnya."
Ruby ingin membuka suara, tetapi bungkam tatkala langkahnya dan Caesar terhenti akibat tatapan nyalang Varden yang dapat membelah tubuh seseorang.
"T-tunggu dulu. Kami cuman diskusi tentang tur Ruby, kan, Sar? Soalnya Ruby belum hapal letak-letak setiap ruang dan jalan di sekolah."
Ruby langsung menyikut lengan Caesar membuatnya mengaduh. Akan tetapi, langsung kompak mengangguk dengan keringat dingin yang menetes.
KAMU SEDANG MEMBACA
Emerald Eyes ✓
Teen Fiction°Budayakan vote dan follow° Writer by @HaifaKamila & @mdyunitaa #JewelHighSchoolSeries1 (15+) *** Takdir merenggut segalanya sejak Ruby menginjak usia 15 tahun. Sewaktu menemukan profesi yang cocok, tidak terima saat toko tempat Ruby bekerja memecat...