Sagara menggedor pintu kamar Laura dengan kencang. "Laura! Bangun! Udah siang!"
"Percuma saja kamu terus berteriak, anak itu tidak ada di sini."
Sagara mengernyit heran. "Emangnya Laura di mana Pa?"
"Papa kurung dia di kamar mandi." Irfan menjawab dengan santai.
Sagara membulatkan matanya, ia tidak habis pikir dengan papanya. "PAPA KETERLALUAN! PAPA SADAR NGGAK SIH? BERAPA KALI PAPA SAKITIN LAURA?! BAHKAN PAPA UDAH NGGAK PANTAS LAGI DISEBUT PAPA!!"
Irfan menatap Sagara dengan tatapan marah. "KURANG AJAR! MASIH UNTUNG SAYA MASIH MAU MENGURUS KALIAN! DASAR TIDAK TAU TERIMAKASIH!!"
"Masih untung Papa bilang?" Sagara tertawa remeh. "Lebih baik aku dan Laura nggak usah tinggal di sini daripada harus punya papa kayak Papa!"
Bugh!
Satu pukulan kuat mengenai rahang Sagara hingga cowok itu tersungkur. "Itu semua karena Laura! Dia anak pembawa sial! Bahkan saya tidak sudi menganggapnya sebagai anak! Paham kamu?!"
Sagara sudah terkulai lemas di lantai. Bahkan Sagara tidak sama sekali membalas pukulan papanya. "Papa keterlaluan,"
Dirasa sudah cukup puas, Irfan menyudahi pukulan itu. Irfan menatap putranya dengan tatapan sinis. "Itu akibatnya jika kamu berani dengan saya." katanya sambil merapihkan kerah bajunya yang berantakan akibat memukuli putranya tadi.
Sagara berusaha dengan sekuat tenaga untuk berdiri. "Gue harus keluarin Laura dari kamar mandi."
"Laura! Lo di dalam?!" Sagara berteriak dengan kencang.
"Kak," Laura menjawabnya dengan pelan, bahkan nyaris tidak terdengar.
Sagara berusaha untuk membuka pintu itu, dan sialnya pintu itu terkunci. "Shit!"
Sagara mendobrak pintu itu dengan sekali tendangan, dan kini berhasil terbuka. Sagara melihat Laura sedang meringkuk kedinginan di lantai, bahkan kini seluruh tubuhnya membiru saking kedinginannya.
Sagara menutup mulutnya. "Astaga, Laura!"
"Kak, dingin," ujar Laura dengan suara bergetar. Bahkan kini bibirnya pucat pasi persis sekali seperti mayat hidup. Banyangkan saja, Laura dikurung semalaman.
Dengan segera Sagara membopong Laura memasuki kamar. "Tahan sebentar Ra,"
Setelah sampai di kamar Laura, Sagara merebahkan tubuh Laura di kasur.
"Mending lo nggak usah sekolah hari ini, nanti gue izinin ke guru lo."
Laura menggeleng pelan. "Nggak Kak, gue mau sekolah aja."
Sagara mengernyit heran. "Tapi lo lagi sakit. Gue nggak mau lo kenapa-kenapa."
Laura tersenyum tipis, berusaha untuk menutupi rasa sakitnya. "Gue nggak apa-apa kok. Lo nggak usah khawatir. Nih buktinya gue kuat!" Laura mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi memperlihatkan bahwa dirinya kuat.
Sagara menghela napasnya pelan. Kalau sudah begini ia hanya bisa pasrah. "Iya udah sekarang lo siap-siap gih. Nanti gue buatin bekal, tapi jangan lupa di makan."
Laura mengangkat satu tangannya ke pelipis keningnya. Terlihat seperti seseorang yang sedang hormat. "Siap!"
****
Laura berjalan dengan santai menuju kelasnya, ia berisul senang. "Sampai kapan gue harus berpura-pura kuat di depan semua orang? Gue capek." lirihnya kepada dirinya sendiri.
"DOR!"
Laura memekik terkejut. Bahkan dia nyaris saja terjungkal. "Eh anjir ayam keselek jengkol!"
"Sejak kapan ayam bisa makan jengkol Ra?" tanya Keysa tertawa keras. Saking kerasnya cewek itu sampai mengeluarkan air mata.
"Bibir lo pucet banget, lo sakit?" Keysa menyentuh bibir Laura pelan.
Laura merutuki dirinya sendiri akibat sangat ceroboh sampai lupa memakai lipstick. Ia menjauhkan lengan Keysa yang menyentuh bibirnya. "Anu itu ... ah iya! Gua lupa pakai lipstick hehe." katanya sambil tertawa kecil berusaha untuk tidak membuat Keysa curiga.
"Eh, bay the way, Monica kemana ya Key? Akhir-akhir ini gue nggak pernah liat dia," tanya Laura.
Keysa hanya mengangkat bahunya acuh. "Nggak tau. Gue denger dia berhenti sekolah,"
Keysa melihat Kahtan yang sedang berjalan ke arahnya dan juga Laura. "Eh, Ra. Doi lo tuh. Gue duluan ya, dah!"
"Key lo—"
"Ekhem,"
Laura tersentak kaget. "Lo ... kok di sini?"
"Kenapa? Kaget banget perasaan,"
"Em. Nggak gitu,"
Kahtan mengacak pelan pucuk rambut Laura. "Nggak gitu apa, hm?"
"Ih, kan jadi berantakan!" ujar Laura kesal sambil melihat rambutnya yang sudah tak tertata.
Kahtan berjalan mendekati Laura. Kini jarak antara mereka hanya beberapa senti. Bahkan bisa dibilang hampir dekat.
Laura tersentak kaget. Dia menutup matanya dirasa Kahtan akan mencium bibirnya.
Laura mengernyit heran. Laura pikir Kahtan akan menciumnya. Namun nyatanya kini dia malah melihat Kahtan sedang mengepalkan tangannya.
"Ini kenapa memar? Bilang sama gue siapa yang udah berani nyakitin lo!" Kahtan menyentuh sudut bibir Laura yang membiru.
Laura meringis kecil. Ia hampir lupa bahwa semalam papanya menampar wajahnya sangat keras sehingga meninggalkan bekas luka.
"Anu itu ... kepentok meja! Iya kepentok meja! Hehe," Laura menggarukan belakang kepalanya yang tak gatal. Ia tertawa kecil berusaha untuk tidak membuat Kahtan curiga.
Kahtan mengernyit heran. Ia merasa curiga dengan jawaban Laura barusan. "Iya udah. Mangkanya hati-hati."
"Kantin yuk!" Laura mengambil lengan Kahtan, setelah itu ia mengayunkannya.
Kahtan menoleh, "cantik,"
****
Laura
Kahtan
KAMU SEDANG MEMBACA
LAURA
Teen Fiction-Ayah, bukan cinta pertama, tetapi patah hati pertama. Luka terbesar. Mungkin segelintir anak saja yang beruntung mendapat (ayah) sebagai cinta pertama- 3 tahun lamanya Laura selalu difitnah pembunuh oleh ayahnya sendiri. Tuduhan itu berhasil membua...