14. Kecelakaan

3.2K 159 106
                                    

"Apa? Lo kecelakaan?!" Laura membulatkan matanya tidak menyangka. Tanpa sadar gadis itu menjatuhkan ponselnya.

Tanpa disadari, air mata menetes membasahi pipinya. Laura masih tidak menyangka. Padahal sebelum ia pergi bersama Kahtan, kakaknya itu baik-baik saja.

Laura langsung berlari saat itu juga. Dia tidak memperdulikan teriakan Kahtan yang terus saja memanggil namanya.

"Laura! Tunggu!" Kahtan menghela napasnya pelan. Padahal ia ingin memberikan sebuah kalung untuk Laura. Kahtan menatap nanar kalung itu, ia memasukkannya kembali kedalam sakunya.

"Pasien bernama Sagara Stevano, ruang rawat no 147." kata penjaga administrasi rumah sakit.

"Baik. Terima kasih." ucap Laura segera berlari menuju ruang rawat.

"Ya ampun Kak! Kenapa bisa kayak gini?" tanya Laura panik ketika sudah berada di hadapan Sagara. "Ini ... kaki lo?" tanyanya lagi terkejut melihat kedua kaki Sagara yang sudah dibalut perban.

"Kata Dokter, gue lumpuh." ucap Sagara menatap sedih kakinya. "Tapi lo tenang aja, ini cuma sementara kok. Beberapa bulan lagi juga pasti sembuh."

"Gimana gue bisa tenang sih, Kak? Lo lumpuh!" Laura menatap Sagara kesal. "Bilang sama gue siapa yang udah buat lo jadi kayak gini!"

Sagara menghela napasnya pelan. "Tadi setelah lo pergi jalan bareng pacar lo, gue pengin beli makanan di komplek depan. Pas gue mau balik ke rumah, tiba-tiba ada yang nabrak gue pakai mobil." Sagara menundukkan kepalanya, "mobilnya persis seperti mobil Papa."

Laura membulatkan matanya, ia sungguh terkejut. "Apa mungkin itu Papa, Kak?"

"Nggak mungkin itu Papa. Lagian kan, mobil kayak papa itu banyak Ra," lirih Sagara pelan. Sebenarnya ia juga bingung. Apa mungkin itu papanya?

"Gue yakin itu Papa!" ujar Laura tetap kekeuh bahwa papanya pelakunya. "Lo tunggu di sini, gue bakal ke rumah sekarang juga!"

Sagara menahan lengan Laura. "Nggak usah. Jangan nuduh Papa gitu aja, Ra. Dia itu Papa kita, nggak mungkin dia ngelakuin itu."

Laura menghembuskan napasnya pelan. Ia tidak bisa menuduh papanya begitu saja. "Oke fine! Mending sekarang lo istirahat."

Sagara mengernyit heran, ia seperti mencium aroma bau busuk. "Hm, bau tai sapi. Lo nyium nggak sih?"

****

"Pelan-pelan dong Kak!" Laura menuntun Sagara menggunakan kursi roda menuju rumahnya.

Sagara meringis kecil. Ia menatap sedih kakinya. Sagara masih belum terima bahwa kakinya lumpuh. Tanpa disadari, air mata menetes membasahi pipinya.

"Kak, lo nangis?" tanya Laura prihatin.

Sagara tersentak kaget, dengan cepat ia menghapus air matanya. Sagara tidak boleh terlihat lemah di hadapan adiknya. "Siapa bilang? Gua cowok, mana mungkin gue nangis."

Laura menghela napasnya pelan. "Kalau emang lo udah nggak kuat, nangis aja. Emangnya cowok nggak boleh nangis?"

"Apaan sih lo, udah ayok masuk!"

Laura mendorong kursi roda yang di tempati kakaknya. Ia melihat papanya sedang menonton televisi di ruang tengah.

"Kenapa kaki kamu?" tanya Irfan pada Sagara.

Laura menatap papanya dengan curiga. "Apa peduli Papa? Urus aja kerjaan yang menurut Papa lebih segalanya!"

"Dasar anak tidak tahu diri! Berbicara dengan sopan!" Irfan menatap Laura dengan tatapan tajam.

Laura terkekeh sinis. "Papa kan, yang udah buat Kakak kayak gini?!" Laura sengaja berbicara seperti itu kepada papanya, ia ingin melihat papanya mengakui kesalahannya.

Plak!

"Kurang ajar! Saya tidak pernah mengajarkan kamu untuk menuduh seseorang!"

Satu tamparan keras mengenai wajahnya. Laura hanya bisa menunduk takut saat ini.

"Tapi Papa sendiri yang udah buat aku nuduh seseorang itu, dan seseorang itu adalah Papa." air matanya menetes membasahi pipinya yang sedari tadi ia tahan. Laura tidak mengerti dengan jalan pikiran papanya saat ini.

Irfan mengepalkan tangan, dengan sekuat tenaga ia mendorong tubuh Laura dengan kencang.

Bruk!

Sagara terjatuh, cowok itu berhasil melindungi Laura dari papanya yang sempat ingin mendorongnya tadi.

"Argh!" Sagara meringis kesakitan saat kakinya terasa sangat sakit. Cowok itu berusaha sekuat tenaga untuk berdiri.

Laura membulatkan matanya, dengan segara ia langsung membantu Sagara untuk berdiri.

"Papa keterlaluan! Kenapa Papa lakuin ini?!" tanya Laura menatap marah ke arah papanya.

"Saya tidak peduli." ucap Irfan berlalu pergi begitu saja tanpa merasa bersalah sedikitpun.

"Lo nggak apa-apa?" tanya Sagara pada Laura. "Ayo gue antar lo ke kamar, pasti lo capek seharian jagain gue di rumah sakit."

Laura tidak habis pikir dengan kakaknya. Seharusnya ia yang bertanya seperti itu. "Lo nggak usah peduliin gue, kaki lo gimana?"

Sagara tersenyum tipis. "Gue nggak apa-apa kok, nggak sakit juga."

"Beneran lo nggak apa-apa?" tanya Laura khawatir.

Sagara mengacak pelan pucuk rambut Laura. "Iya, nggak apa-apa. Tidur gih, udah malem."

Laura tersenyum tipis. "Iya udah abis ini lo istirahat."

Sagara mengangguk. Ia melihat Laura sudah memasuki kamarnya. "Argh!" Cowok itu kembali meringis, ia merasakan kakinya sangat sakit. "Gue harus kuat, gue nggak boleh lemah."

****

Sagara

Sagara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.





LAURA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang