Happy Reading<3
"Eh Ra! Ra! Doi lo tuh. Didepan nungguin lo," Ella berteriak membuat Laura yang sedang menghapus papan tulis menoleh.
Laura tersenyum tipis. Ia berjalan menghampiri Kahtan yang sedang memperhatikannya.
"Kantin. Gue tau, lo pasti belum sarapan dari pagi,"
"Em, boleh." Laura gugup sendiri diperhatikan seperti itu oleh Kahtan. Ia memalingkan wajahnya sebisa mungkin.
"Kenapa? Pipi lo kok merah? Lo sakit?" tanya Kahtan panik. Cowok itu menempelkan tangannya pada kening Laura. "Nggak panas tuh,"
"Ekhem. Cie salting," Kahtan tersenyum geli melihat wajah Laura yang memerah. Cowok itu mengambil jepitan rambut dari sakunya. Kahtan mendekati Laura, ia memakaikannya di rambut gadisnya.
Laura menahan dirinya sendiri supaya tidak memekik kesenangan. Ia menahan dadanya yang berdebar saat napas Kahtan menerpa wajahnya. "Ih, nyebelin banget sih!"
Laura menatap Kahtan kesal. Ia melihat jepitan rambut itu sudah menempel di rambutnya. "Ma-makasih."
"Lo cantik," lagi-lagi Kahtan membuatnya salah tingkah.
Laura tersenyum tipis. Ia berbicara berusaha untuk mengalihkan pembicaraan. "Katanya mau ke kantin, kok masih di sini? Ayo!"
Kahtan mengambil lengan Laura. Cowok itu menautkannya di genggaman tangannya.
"Kayaknya gue udah kecanduan deh sama rambut lo," Kahtan berucap pelan di telinga Laura. Cowok itu mengacak gemas pucuk rambut gadisnya.
"Halah! Nggak cocok!"
"Ceweknya jelek! Kahtan mau aja lagi sama dia! "
"Tau! Udah jelek! Anak nakal! Emang nggak ada bagus-bagusnya tuh si Laura!"
"Mungkin Kahtan pacaran sama si Laura cuma karena kasihan! Haha!"
Siswa-siswi menatap Laura dengan tatapan benci. Semuanya memandang Laura dengan hina, seolah Laura manusia paling buruk di dunia.
Senyuman Laura langsung luntur saat itu juga. Tubuhnya terasa lemas saat mendengar cacian terakhir yang diberikan untuknya. Apa mungkin Kahtan menjadikan pacarnya hanya karena kasihan?
Kahtan mengerti perubahan raut wajah Laura. Cowok itu mengepalkan tangan saat semua orang mencaci maki gadisnya.
"Nggak usah didengerin. Mereka cuma iri, yang terpenting gue sayang sama lo. Nggak usah mikir yang aneh-aneh." katanya seolah menyakinkan. "Gue baru aja beli earphone, lo mau coba?"
Laura mengangguk pelan. Ia membalasG senyuman Kahtan. Sungguh, perkataan semua orang sangat menusuknya. Ia jadi merasa tidak pantas mempunyai pacar se-sempurna Kahtan.
KAMU SEDANG MEMBACA
LAURA
Teen Fiction-Ayah, bukan cinta pertama, tetapi patah hati pertama. Luka terbesar. Mungkin segelintir anak saja yang beruntung mendapat (ayah) sebagai cinta pertama- 3 tahun lamanya Laura selalu difitnah pembunuh oleh ayahnya sendiri. Tuduhan itu berhasil membua...