Dibanding senja, aku lebih bahagia jika senyumanmu yang menghiasi soreku.
—Kahtan
"Papa! Kak! Mauren! Mama!"
Laura berjalan menuruni tangga satu-persatu. Cewek itu memanggil semua orang yang berada di rumahnya, tetapi tidak ada yang menjawabnya satu orang pun. Kemana mereka semua?
"Bi Inah! Pak Tarno!" Laura berteriak dengan kencang. Ia berjalan ke arah dapur. Biasanya, jam segini Bi Inah tengah beres-beres di dapurnya, tetapi kali ini Bi Inah tidak ada.
"Bi Inah—"
Laura seketika mengernyit heran saat melihat amplop putih persis sekali seperti surat. Ia mengambilnya dengan hati-hati, kemudian ia membuka surat itu dan mulai membacanya.
Maaf karena Bibi nggak bisa tinggal lebih lama lagi di rumah Non Laura. Bibi dipecat sama papa Non.
Non Laura jangan pernah sakitin diri sendiri lagi, karena Bibi juga ikut merasakan sakit. Non Laura jangan pernah merasa nggak ada yang sayang sama Non, karena di sini banyak yang sayang sama Non Laura, termasuk Bibi.
Bibi ada sedikit uang buat biaya sekolah Non. Bibi tahu, selama ini tuan nggak pernah kasih Non Laura uang. Mungkin emang nggak seberapa, tapi Bibi yakin, uang itu pasti cukup bagi Non Laura.
Bagi Bibi, Non Laura sudah seperti anak Bibi sendiri. Bibi sayang sama Non Laura. Jangan pernah sedih lagi, karena Bibi selalu ada di hati Non Laura.
Mungkin segitu aja dari Bibi. Bibi pamit. Semoga Non Laura bahagia selalu.
Salam sayang. Bi Inah.
Isakan tak dapat ia tahan saat membaca surat itu. Laura tidak menyangka ternyata papanya tega memecat Bi Inah.
Bagi Laura, Bi Inah bukan hanya sekedar pembantu di rumahnya, tetapi Laura sudah menganggap Bi Inah seperti ibunya sendiri.
Hanya Bi Inah yang mengerti bagaimana perasaannya selama ini. Hanya Bi Inah yang selalu menemaninya disaat dirinya merasa sepi. Hanya Bi yang selalu ada untuknya.
Kini, Bi Inah telah pergi meninggalkannya. Kini, hidupnya bertambah lebih sepi. Kini, hidupnya lebih menyedihkan dari sebelumnya.
"Bi Inah kenapa pergi ninggalin aku? Aku sayang sama Bibi." Laura terisak hebat. Cewek itu memukul dadanya yang terasa sesak.
"Cuma Bibi yang mengerti bagaimana perasaan aku." Laura meremas surat itu dengan erat. Ia menutupi wajahnya dilipatan kedua tangannya. Punggungnya naik turun seiring dengan tangisannya kembali lebih kencang.
Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada mengetahui bahwa sumber kebahagiaannya kini telah pergi meninggalkannya. Laura membenci dirinya sendiri, ia mengakui bahwa dirinya memang sangat lemah.
Tok! Tok! Tok!
Laura mendongakkan kepalanya, ia menggerutu kesal. Bisa-bisanya seseorang bertamu di waktu yang tidak tepat.
Laura berjalan menuju pintu depan rumahnya dengan hati-hati. Ia takut tiba-tiba saja yang mengetuk pintu rumahnya itu ternyata adalah seorang perampok, bisa gawat nantinya.
Laura membuka tirai jendela di dekat pintu rumahnya dengan perlahan. Cewek itu membelalak terkejut. "Ka-Kahtan?!"
Laura membulatkan matanya saat mengetahui bahwa yang bertamu ke rumahnya itu ternyata adalah Kahtan. Mengapa cowok itu tidak memberitahunya terlebih dahulu sebelum datang ke rumah?
KAMU SEDANG MEMBACA
LAURA
Teen Fiction-Ayah, bukan cinta pertama, tetapi patah hati pertama. Luka terbesar. Mungkin segelintir anak saja yang beruntung mendapat (ayah) sebagai cinta pertama- 3 tahun lamanya Laura selalu difitnah pembunuh oleh ayahnya sendiri. Tuduhan itu berhasil membua...