Ayah ... aku rindu menjadi putri kecilmu, aku rindu dipelukmu, bisakah kita seperti dulu?
—Laura
Kini Laura dikejutkan dengan kepulangan papanya Biasanya, papanya itu jarang sekali pulang. Semenjak ibunya meninggal, papanya jadi gila kerja. Tetapi Laura bersyukur, ternyata papanya masih memikirkan anak-anaknya.
"Tumben pulang, Pa?" tanya Laura yang kini sudah berada di hadapan papanya.
Irfan melirik Laura sinis. "Bukan urusan kamu."
Laura menghela napasnya pelan. Ternyata papanya tidak berubah juga, sedari dulu papanya itu selalu bersikap ketus kepada dirinya. Sebenarnya Laura juga bingung, tetapi ia lebih memilih diam.
"Kalau begitu, Laura buatin teh hangat ya, Pa?" tanya Laura tersenyum hangat.
"Tidak perlu, lebih baik kamu pergi dari hadapan saya! Saya muak melihat wajah kamu, tentu saja itu akan membuat saya teringat lagi dengan ibumu!" usir Irfan. Pria muda itu berjalan pergi meninggalkannya begitu saja.
Laura mematung di tempat. Apa salah dirinya? Lagi pula ia hanya ingin menyuguhkan teh hangat, siapa tahu papanya capek bukan? Toh, itu tidak akan membuat masalah.
"Papa pulang, Ra?" tanya Sagara yang tiba-tiba muncul dari arah dapur.
Laura mengangguk, "iya, Kak."
"Terus sekarang papa di mana?" tanya Sagara lagi sambil melirik ke seluruh penjuru ruangan rumahnya.
Laura hanya mengangkat bahunya acuh. "Di kamar kali Kak, mungkin capek abis pulang kerja."
Sementara Sagara hanya mangut-mangut saja. Ia sendiri pun sama halnya dengan Laura, antara bingung, dan senang. Ternyata papanya itu meskipun terlihat tidak peduli, tetapi masih sedikit memikirkan dirinya dan juga Laura.
Sagara berjalan mendekati Laura. Cowok itu menarik pelan pipi adiknya. "Gemesnya adik gue,"
"Ih! Sakit tahu! Pipi gue jadi chubby nih gara-gara lo!"
Sagara mengacak pelan pucuk rambut Laura. "Biarin aja. Lagi pula pipi lo chubby karena lo sering makan nasi sehari lima kali! Gimana nggak chubby coba,"
"Terserah gue dong! Itu bukan urusan lo!" Laura melipat kedua tangannya di depan dada. Cewek itu menatap Sagara dengan tatapan sinis.
Sagara tersenyum licik. Cowok itu menggelitiki perut Laura menggunakan tangannya. "Ayo kejar!"
Laura terkekeh geli. Ia berlari mengejar Sagara yang sudah menjauh dari hadapannya. "Kak! Tunggu!"
"Gitu aja udah capek! Ayo kejar lagi!" Sagara tertawa kecil saat melihat adiknya dengan susah payah mengejarnya.
Laura membungkukkan tubuhnya sambil terus saja mengatur napasnya. "Stop, Kak! Gue capek!"
"Minum," Sagara menyodorkan sebotol air untuk Laura.
"Lo sih! Kalau gue kurus gimana?!" Laura menoyor kepala Sagara dengan pelan.
"Baguslah. Kalau lo gendut, siapa coba yang mau sama lo?"
"Kok lo ngomongnya gitu sih? Lo ngeledek kalau gue gendut, gitu?" mata cewek itu sudah berkaca-kaca, hampir saja menangis.
"Nggak gitu, Laura. Lo nggak gendut,"
"Terus tadi apa? Buktinya lo tadi bilang kalau gue gendut!" Laura sudah menangis saat ini. Sifatnya memang seperti anak kecil. Ke singgung sedikit aja nangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
LAURA
Novela Juvenil-Ayah, bukan cinta pertama, tetapi patah hati pertama. Luka terbesar. Mungkin segelintir anak saja yang beruntung mendapat (ayah) sebagai cinta pertama- 3 tahun lamanya Laura selalu difitnah pembunuh oleh ayahnya sendiri. Tuduhan itu berhasil membua...