Rumahku berada di tengah gunung.
Dihimpit oleh bukit teletubbies, di antara pohon-pohon menjulang tinggi, lurus sedikit matamu akan menangkap lautan biru bening. Pemandangan elok yang bahkan tidak terbeli oleh berapa dollar pun yang kau beri.
Rumahku sendiri, tegak berdiri di antara biota hutan yang hidup berpopulasi. Aku? Rumahku itu aku. Aku bukanlah 'aku', aku adalah rumah yang kubicarakan. Aku merupakan individu di antara populasi itu. Walau berdiri berdasar kayu mahoni, aku bukanlah keluarga mereka.
Kadang aku sebal, aku makhluk asing yang benar-benar asing. Mereka, walau berbeda saling bergantungan. Aku benci mereka yang seperti mengitariku setiap hari.
Malam adalah waktu kesukaanku. Bintang-bintang di atas layaknya mengiba menatapku, tapi aku senang. Di antara individu-individu yang berbentuk populasi, masih ada yang menatapku tanpa mencibir.
Mungkin jika aku dibangun lurus sedikit, di dekat pantai, aku lebih mudah berbaur. Di sana hanya ada hamparan pasir yang selalu menyambut dan gelombang laut yang walau labil, tetapi ramah.
Kadang aku juga berharap ada yang mengangkut, truk mengangkutku ke tengah kota, menemui individu lain yang sama denganku. Huh, dua gunung ini menutupi pandangan mereka.
Aku tidak bisa beranjak sedikit pun dari tempatku. Kenapa aku bisa tahu ada laut, lurus sedikit, sampai pantai yang mengagumkan? Tentu saja, aku mendengar setiap perkataan sekitarku, pohon-pohon dan populasi lain yang gemarnya menggosip.
Rumahku ini kokoh, tak lekang oleh waktu, ataupun dimakan rayap-rayap maupun dilumuti jamur. Tetapi ada satu yang membuatku serasa sangat rapuh.
Pandangan merendah dari beragam makhluk di sekitarku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hjàlp
PoetrySemua emosi, kesedihan, kebahagiaan, maupun khayalan yang aku tuangkan dalam kata-kata kiasan. Segelintir emosiku yang aku tuliskan, dalam paragraf-paragraf yang singkat.