Menunggu Ayah

293 8 2
                                    

Aku selalu tersenyum di bawah tempat merenung yang bernama rumah ini. Satu bilik berisikan ibu, dan kadangkala saudari perempuanku. Ibu yang setiap pulang walau tak berpeluh, tetapi letih tergambar di wajahnya yang ayu. Iba hatiku melihatnya. Namun entah kenapa ragaku lebih mengikuti apa yang aku inginkan, mengabaikan ibu yang bekerja sampai malam sendirian.

Perpisahan bukanlah segalanya. Tidak ada yang bisa memutuskan tali antara orangtua dan darah dagingnya. Aku tahu itu. Walau kebencian masih sedikit meradang, rasa sayang dalam setiap keping darah tidak terkalahkan. Hanya karena dia seorang jalang, hidupku pecah berantakan.

Rumahku bukan berada di pedesaan terbelakang. Bukan juga di kaki gunung ataupun di dekat ngarai. Rumahku berdiri di tengah hiruk pikuk perkotaan, yang penuh dengan kebebasan dan persaingan. Sesibuk apapun aktivitas di sekitar rumah, aku tidak pernah merasakan keramaian yang nyata. Rumah membuatku hampa, tanpa adanya seseorang yang selalu di sisiku dan menimangku sejak kecil.

Aku dekat dengan ibu, tapi aku jauh lebih dekat dengannya. Ia pindah ke kota sebelah, yang hiruk pikuknya tidak kalah dari kotaku. Entah hanya perasaanku, tapi aku sangat berharap ia membaca semua pesanku, yang tidak aku kirim maupun perlihatkan secara langsung.

Untuk mengingatnya aku mengunci pintu, mematikan lampu. Kemudian aku berbaring di tengah ranjang dalam bilik tanpa ibu dan saudariku, apalagi dia. Aku memutar balikkan semua kenangan yang kulewati bersamanya, yang walau semakin diingat semakin meradang dan menyayat hatiku sedalam mungkin. Ia satu-satunya salah satu adam yang menorehkan luka terbesar dihidupku, tetapi satu-satunya adam yang tetap kusayangi dan kucinta walau luka dihidupku sangat susah terobati.

Air menitik melewati pipiku aku acuhkan, sesekali berharap ada yang mengetuk pintu. Bukan, bukan ibu yang pulang dengan wajah letih, tetapi dia yang tak kunjung datang walau aku tunggu selama jarak waktu hingga rambutku sebahu.

Satu hari dalam seminggu, sosoknya tertangkap mataku. Bercanda gurau dan melepas sayang, tiga jam saja belum cukup. Aku tetap menunggunya. Menunggu walau sia-sia. Menunggu semua kembali sempurna. Menunggu rumahku penuh dengan kehadiran keluarga. Penuh dengan ibu, saudariku, dan yang selalu aku tunggu walau tak akan menjadi nyata. Menunggu ayah datang ke rumah ini, dan namanya kembali tertulis dalam kartu keluarga.

HjàlpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang