Hjàlp

Pergi

Tik tok tik tok tik tok

Bunyi jam dinding merusak pendengaranku. Kapan ia berhenti berseru? Ini bukanlah waktu cantik tepat jarum jam memilih angka dua belas, mengapa ia berisik menggangguku?

Tidakkah dia tahu, kalau bising ini sangat hampa? Aku selalu sendirian, ditemani cahaya remang-remang yang kelabu.

Dunia berlari menjauhiku. Bahkan matahari pun tidak mau berbagi kehangatannya padaku. Malaikat tidak pernah datang membawa keberuntungan, apakah hanya aku yang seperti itu?

Para pengkhianat itu berkata,

"Kamu harus jatuh, kamu terlalu melayang di atas awan!"

Para pengkhianat itu kemudian berbalik, pergi, tak khayal adapun yang berdecih dan mencibir. Percuma akupun terjatuh, tidak ada yang memberikan tangan sama sekali.

Kepalaku mendongak ke arah langit yang cengeng. Derai airmatanya bercampur dengan airmataku. Baunya sangat menusuk hidung.

Bagai fondasi bangunan yang runtuh, jatuh dan tak lekang satu. Menjadi potongan puing berantakan menyelimuti tanah berdebu, ialah tubuhku.

Tik tok tik tok

Di kala semua menemaniku, tidak satupun yang tulus menyayangi? Apa aku terlalu hina, bagai onggokan basi yang dikerubungi lalat, tetapi ditinggal seujung kuku?

Tik tok

Lagi-lagi, di saat semua orang menjadi satu kubu, aku sendiri tertinggal.

Bukan karena sombong, senja kala pun aku mencoba mencari arti pengkhianatan mereka di balik mentari bersimbah darah.

Ada tiga orang yang tetap di sisiku waktu itu.

Waktu itu. Kutegaskan lagi, waktu itu. Mereka baik, tiga orang yang mengerti seluruh benakku bahkan mungkin setiap inci pori-poriku. Tetapi, mereka juga telah bermetamorfosis dengan sekitarnya, menjadi kubu-kubu di antara kubu-kubu yang aku benci adanya.

Tik.

Kupalingkan irisku ke dinding. Bahkan, jam pun memutuskan untuk kabur dari ku? Mati, berhenti di angka yang sangat tidak cantik, meninggalkan aku sendiri? Di kala suara yang bisa aku dengar hangat, hanya darinya, walau mengganggu pendengaranku?

Argh, kenapa semua pergi dari ku?