Rembulan

115 10 4
                                    

Aku keranjingan mengkhayal. Khayalan yang mungkin bisa diraih, walau jalan yang kutempuh kelok-kelok. Butuh seribu tahun lagi mungkin, agar dia membalas perasaanku.

Aku menatap rembulan itu dengan sendu. Apa yang akan terjadi seribu tahun lagi? Sekarang bahkan aku tidak bisa berpaling, tapi juga tak dapat mendekat. Rembulan sabit, yang selalu tersenyum paling kusuka. Jalan yang kutempuh untuk mendekati rembulan dan meraihnya dengan kedua tanganku, penuh dengan kilat panas dan atmosfer menusuk tulang.

Belum lagi bintang kelap-kelip yang sangat bertolak belakang denganku. Rembulan selalu dilingkari oleh bintang-bintang. Apa daya dia bisa memilihku, walau seribu tahun lagi, bahkan lebih?

Aku menatap rembulan dari balik jendela reot, yang dibentuk dari bibit pohon pinus. Aku sering mengkhayal, akankah jendela ini tumbuh mencakar langit, dan tergapailah rembulan itu?

Ingin ku mengalungkan tangan memeluk sang rembulan. Jikalau bisa dibawa pulang, aku tak akan membawanya. Aku hanya ingin menikmati setiap inci keindahan dan debaran hati ini. Jikalau aku bisa mengambilnya dan ditaruh di dalam almariku, aku tidak akan melakukannya. Semua karena aku cinta dia.

Apabila aku mengambilnya, tak akan ada lagi sabit tanpa rembulan tersenyum di tengah langit. Tak akan ada lagi rasa saingku pada bintang-bintang. Tak akan ada lagi rasa sendu ketika menatapnya dari jendela kayu pinus. Takkan ada pula debaran hati yang paling kusenangi itu.

Jika aku menyimpannya di dalam almariku, aku sangatlah egois. Karena dia memang bukanlah milikku, ia bahkan tidak kenal aku. Aku bukanlah penculik, akulah korbannya. Aku korban dari pencurian hati yang disebabkan oleh sang rembulan.

HjàlpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang