Aku melihatnya lagi.
Sesosok wanita bermata sayu, merah dan lingkar hitam di sekelilingnya. Wajahnya kacau, seperti ada garis airmata kering di pipinya yang tirus. Wanita berambut hitam bak kayu eboni, tetapi bibir dan kulitnya putih, pucat.
Satu kata yang terukir di benakku: menyedihkan.
Wanita itu mencoba tersenyum, tapi apa daya, ia terlihat seperti monster. Bajunya terlihat sangat lusuh, dekil dan tidak layak. Bagai hantu saja, padahal cantik.
Kulihat wanita itu berkomat-kamit mengucapkan sesuatu. Tangannya seperti meraih ke depan, kemudian ia elakkan ke pipinya, lalu jatuh.
Bulir-bulir airmata turun membasahi lantai marmer yang putih. Entah mengapa, semua barang bertebaran menutupi lantai marmer yang dingin itu. Sama halnya dengan sang wanita: menyedihkan.
Wanita itu terisak. Aku bisa mendengarnya, walau mulutnya tak menyuara. Aku bisa merasakannya: kesedihan, sangat menyedihkan.
Apa aku harus beranjak dari tempat ini? Rasanya berat sekali melihat keadaan menyedihkan sang wanita eboni itu. Ya, lebih baik aku pergi. Supaya tak ada yang tahu aku memperhatikan wanita itu.
Sesaat aku pergi, wanita itu menghilang seperti terhisap bumi. Aku sudah jauh, dari tempat yang biasa aku melihat wanita berpakaian lusuh.
****
Entah apa yang menarik kedua kakiku, aku datang kembali ke tempat ini.
Aku melihat.
Bukan, bukan sesosok wanita yang bermata sayu, merah, dan berlingkar hitam; bukan pula yang berwajah tirus, pakaian lusuh. Tetapi ada satu yang tetap sama: rambut eboni.
Sangatlah apik penampilannya. Pipinya berisi, tetapi tidak gendut bergelambir. Kulitnya putih, dan bibirnya merona. Cantik.
Ia tersenyum dengan elok. Tetapi rasanya tetap janggal, kenapa dia tetap membuat pikiranku mengucapkan hal, sampai ke relungku, menyedihkan?
"Hei nak, kenapa kau berkaca tidak putus-putus? Ada apa disana memang he?"
Suara berat beraksen lucu menyadarkanku, wanita itu menoleh saat aku menoleh. Menunduk saat kutunduk. Berkomat-kamit kala 'ku menyuara.
Selang beberapa hari aku amati, wajah wanita itu yang kian hari berubah bagai gelombang laut-kadang ganas dan kadang tenang-yang selalu kesepian, sendirian. Biarpun apik nan molek, tetap menyedihkan.
Semenyedihkan aku, refleksiku. Pantulan terhadap semua insan tentang aku: menyedihkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hjàlp
PoetrySemua emosi, kesedihan, kebahagiaan, maupun khayalan yang aku tuangkan dalam kata-kata kiasan. Segelintir emosiku yang aku tuliskan, dalam paragraf-paragraf yang singkat.