17 | boleh?

16.6K 1.4K 27
                                    

Setelah tangis Shalitta mereda di pelukan Malik hari itu, mereka memutuskan untuk beranjak pulang. Lalu saat itu pula tiba-tiba Malik yang berjalan di sebelahnya, berbicara dengan santai, memintanya untuk menemaninya ke Yogyakarta.

"Temenin gue, yuk. Nonton festival musik jazz gitu di Yogya." ucap Malik kala itu.

"Kapan?" Shalitta menoleh ke samping dengan alis berpaut.

"Pas liburan semester, kok. Gue diajak sama temen gue. Dia salah satu panitia acaranya gitu."

"Oh ..." Shalitta mengangguk-angguk pelan.

"Mau nggak?" tanya Malik sekali lagi.

"Berdua doang?"

Malik terdiam sesaat. Ia tampak berpikir. "Lo mau ajak yang lain?"

"Hmm ..." gantian Shalitta yang terlihat berpikir. Sedikit ragu.

"Berdua aja, lah. Ribet kalau sama yang lain." usul Malik dengan nada suara ketus nyaris menggerutu. Dahinya terlihat berkerut pertanda tidak suka dengan bayangan mengajak teman-temannya yang lain.

Shalitta terus berjalan seraya menatap rumput-rumput yang ia injak di bawah kakinya. Ia menggigit bibir dalamnya seraya terus berpikir.

"Sekalian lo liburan. Refreshing," ujar Malik pelan. Tangannya yang terkulai bebas di samping tubuhnya perlahan menghampiri tangan Shalitta dan menariknya ke dalam genggaman. "Ntar gue temenin lo mau kemana aja di Yogya."

Ia terdiam. Membiarkan tangannya diselimuti oleh kehangatan genggaman tangan Malik dan terus berjalan dengan fokus tertunduk ke bawah.

"Oke." Shalitta mengangguk setuju seraya membalas genggaman tangan Malik.

Maka dari itu di sinilah mereka, di sebuah desa di daerah Sleman, Yogyakarta. Menghadiri festival musik jazz bertemakan perjuangan yang dibuka dengan pawai-pawai wayang besar dibawakan oleh beberapa orang.

Acara pembukaan yang melibatkan sosok berbaju prajurit terlihat sungguh menarik. Mata Shalitta tak henti berbinar melihat pertunjukan di sekelilingnya yang jelas jarang sekali ia lihat.

Sebagai anak kota yang jarang kemana-mana karena sedikitnya teman dan juga terlalu dijaga oleh keluarganya, Shalitta benar-benar minim pengalaman dalam melihat dunia. Itulah sebabnya ia memiliki mimpi untuk travelling satu tahun penuh, dan tinggal di tempat asing yang berpindah-pindah seperti Julia Roberts dalam Eat, Pray, Love.

Panggung-panggung artsy berdiri kokoh di beberapa titik. Dalam satu waktu, ada beberapa penampilan di masing-masing panggung yang tersebar di beberapa tempat. Penonton terpecah ke beberapa pusat keramaian karena memiliki ketertarikan masing-masing terhadap pengisi acara serta stand pernak-pernik.

Sungguh Shalitta tidak terlalu paham. Namun semua terlihat menarik. Festival musik di sebuah pedesaan, dimana Shalitta dan Malik bahkan harus berjalan melewati pematang sawah untuk mencapai tempat acara ini digelar.

Malik menggandeng tangannya, sejak perjalanan mereka membelah sawah hingga akhirnya mereka tiba di tempat acara. Bolak-balik Malik memastikan apakah Shalitta lelah, tapi wanita itu terus menyunggingkan senyum lebar karena terlalu bahagia. Ia suka melakukan hal-hal yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Termasuk datang ke acara musik di pedesaan, yang sudah pasti tidak ada di Jakarta.

Ketika matahari mulai tergelincir turun, langit menggelap, lampu-lampu sorot panggung mengganti peran matahari untuk memberikan penerangan. Sinar hangat menyorot ke arah pertunjukkan di atas panggung, membentuk garis-garis tegas yang terfokus kepada setiap pengisi acara di sana.

Shalitta ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang