2 | I Miss You

30.6K 2.9K 33
                                    

Shalitta berjalan dengan cepat meninggalkan Malik di belakangnya. Sebenarnya kakinya udah mau patah tapi dia benar-benar nggak peduli sekarang. Dia cuma pengen membebaskan diri dari makhluk di belakangnya yang terus berjalan mengikutinya.

Saat ia mengarah keluar untuk menuju ke lift yang mengarah ke basement, dengan cepat lelaki di belakangnya itu menangkap pergelangan tangannya dan menahan nya melangkah lebih jauh.

"Mau kemana?" Ujarnya datar, tidak benar-benar ingin jawaban. "Nggak usah macem-macem."

Shalitta berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Malik namun Malik tidak sama sekali bersedia melepasnya.

"Istirahat di mobil aja, Lik."

"Biar apa? Di kamar, kan, bisa. Aku udah dititipin sama Pasha sama Icha. Kamu mau aku dihajar gara-gara biarin kamu istirahat di mobil?" Malik tak menyerah.

"Ya, diem-diem aja. Nggak usah ada yang tahu—"

"Nggak usah keras kepala." Malik berdecak. Mulai nggak sabar.

"Lepas, ah! Sakit!" Shalitta masih berusaha pelan-pelan melepaskan tangannya.

Ia mencoba tak menarik perhatian orang sekitar karena ia tak mau jadi tontonan. Apa kata orang kalau mereka bikin sinetron di tempat umum kaya gini? Jelas, Shalitta malas banget kalau tiba-tiba ada yang merekam dan drama mereka tiba-tiba viral di dunia maya.

Lebay memang. Tapi bukannya emang begitu orang-orang jaman sekarang? Lebay.

"Nggak." Malik menolak dan malah menyeret Shalitta ke depan lift.

Ia memencet tombol lift dan memandang layar indikator lift tanpa menghiraukan Shalitta yang masih berusaha melepas tangannya.

"Lik!"

"Aku nggak malu, ya, kalo mesti bikin drama di sini," Ujar Malik sambil menatap Shalitta dengan tajam. "Aku nggak pernah peduli kalau semua orang tahu."

Shalitta mati kutu. Dia masih punya malu. Hal itu juga yang membuat Shalitta tak pernah mau orang lain tahu, bahwa ada sesuatu antara dirinya dan pria di hadapannya itu.

Akhirnya mau nggak mau, dia menurut. Walau dengan wajah tertekuk masam, mau tak mau ia membiarkan Malik menggenggam tangannya hingga lantai 52 dan lanjut lagi ke lantai 60. Perjalanan lift itu terasa lama sekali.

Shalitta berasa seperti seorang sandera.

Malik tak sedetik pun melepaskan genggamannya. Shalitta benar-benar sudah terasa mati suri karena sejak pertama kali Malik menyentuhnya, jantungnya sudah tak kedengaran detaknya.

Shalitta hanya bisa memandangi punggung Malik yang berjalan satu langkah di depannya. Berusaha keras menghilangkan semua memori masa lalu yang menyeruak keluar menyerang ingatannya.

Punggung yang lebar dan kokoh itu melempar dirinya ke pusaran memori yang sudah ia kubur dalam-dalam. Sudah lama ia tidak mau mengingat lagi bagaimana punggung itu pernah menjadi tempat sandaran paling nyaman.

Malik membuka pintu kamar dan membawa Shalitta masuk.

Awalnya Shalitta ragu. Langkahnya sempat terhenti namun Malik tak peduli dan terus menarik dirinya hingga benar-benar berada di dalam suite.

Malik melepaskan genggamannya dan menunggu Shalitta berjalan masuk ke area tempat tidur. Setelah Shalitta berjalan ke sana dan memastikan wanita itu tak akan punya kesempatan kabur, barulah Malik menyusul.

Shalitta akhirnya membuka heels nya. Ia berjalan menuju area tempat tidur lalu menaruh clutch nya di nakas samping tempat tidur.

"Kamu bisa tidur di sini. Nanti aku bangunin kalau kita semua udah mau jalan," ucap Malik dengan kedua tangan di dalam saku celana. Matanya menatap lekat Shalitta yang terlihat canggung. "Kamu mau mandi dulu?"

Shalitta ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang