10 | sebuah usaha

19.8K 1.7K 60
                                    

Malik berjalan ke arah gedung fakultas nya dan seketika dia mengernyit bingung akibat keramaian yang terjadi di sana. Malik mencoba melalui kerumunan orang-orang yang berkumpul dan ketika ia sampai di dalam, matanya langsung terbelalak kaget.

Penyebab kerumunan itu ternyata adalah Shalitta yang sedang menangis sambil bersandar di bahu Pasha. Mereka terduduk di anak tangga paling bawah dengan tangan Pasha yang merangkul bahu Shalitta.

Malik terkejut. Jantungnya mencelos dan ingin meledak entah karena apa—melihat Shalitta menangis atau karena Shalitta menangis sambil bersandar di bahu Pasha.

Namun di sana ternyata juga ada Qiandra yang sedang sibuk menelpon dan saat Qiandra melihat Malik, ia langsung terlihat lega.

"Lik! Gue dari tadi telpon lo sama Zora nggak ada yang angkat!" Ujar Qiandra saat Malik menghampiri mereka.

"Kenapa sih?" Malik berlutut di hadapan Shalitta yang terus menangis di bahu Pasha.

Saat ia melihat Malik, tangisan nya malah makin kencang. "Sakit."

"Apanya?" Tanya Malik dengan khawatir.

"Shalitta kepleset di tangga, Lik. Dia jatoh gegulingan dari atas. Kakinya juga kayanya keseleo." Jawab Pasha yang daritadi merangkul bahu Shalitta.

Malik seketika terperanjat kaget dan panik. Ia menatap wajah Shalitta yang bersimbah air mata dan ia baru menyadari ada lecet di sudut dahi kanan nya.

"Kenapa bisa, sih?! Lo belum makan, ya?!" Malik ngegas saking paniknya melihat luka itu.

"Apa hubungannya?!" Cetus Shalitta nggak kalah ngegas.

Shalitta membenamkan wajahnya yang bersimbah air mata di rangkulan Pasha, bahunya berguncang karena sesenggukan. Salah satu tangannya memegangi pergelangan kakinya.

Sebenarnya Malik pengen narik Shalitta biar nggak nempel-nempel kaya gitu sama Pasha. Kegatelan amat! Tapi, tampaknya wanita itu benar-benar kesakitan, dan melihat luka di dahinya, Malik merasa jelas ada hal lain yang lebih penting untuk dikhawatirkan. Ia benar-benar takut Shalitta kenapa-kenapa.

"Gue lagi nggak bawa mobil, Lik. Lo ditelponin dari tadi susah banget. Bisa nganter Shalitta ke rumah sakit nggak?" Tanya Pasha.

Malik langsung mengangguk cepat. "Bisa, bisa. Lo bisa jalan, Ta?"

Shalitta tidak langsung menjawab. Ia hanya sibuk sesenggukan. Namun beberapa saat kemudian kepalanya menggeleng.

"Ya udah, gue gendong."

"Lo modus, ya?!" tuding Shalitta ketus.

Malik mesti nahan diri sekuat tenaga untuk nggak ketawa. Bisa-bisanya ini wanita lagi nggak berdaya, sempet-sempetnya suudzon sama orang.

"Ya, kita emang harus selalu memanfaatkan peluang," Malik langsung menghadapkan punggung nya di depan Shalitta. "Cepetan naik! Jangan banyak protes! Ntar lo keburu geger otak!"

Shalitta yang sudah membuka mulutnya untuk menolak, akhirnya pasrah. Tangannya memukul punggung Malik sebelum kemudian berseru, "Lo jangan nakut-nakutin gue, ya!"

"Ya, buruan! Biar cepet diperiksa!" Seru Malik sambil menolehkan sedikit wajahnya ke belakang.

Dengan malu karena orang pada nontonin, ia perlahan naik ke atas punggung Malik. Saat Malik berdiri, Shalitta langsung mengeratkan pelukannya di leher Malik.

"Jangan kenceng-kenceng, Ta, ntar gue yang mati."

"Takut lo jatuhin."

"Astaga, suudzon amat! Nggak bakal!" Malik mulai berjalan menuju parkiran, melalui kerumunan orang yang memandang Shalitta dengan kasihan.

Shalitta ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang