BAB 3 : Persiapan Pernikahan

5.5K 341 1
                                    

Empat hari setelah sepeninggalan Kakung, kami mulai melanjutkan aktivitas kami seperti biasanya. Kini semakin dekat pula acara pernikahan yang tak pernah ku inginkan ini. 

Hah! ingin saja aku lari dari semua kenyataan ini!

Sore nanti, sepulang dia bekerja dari rumah sakit, dokter itu mengajakku pergi untuk final fitting baju pengantin. Saat dia sampai, dia duduk di sofa ruang tamuku, lalu pria itu mempertanyakan perihal mahar kepadaku. 

"Kamu mau minta mahar apa dari saya?" tanya pria itu kepadaku. 

Aku bingung, karena aku tak tahu harus meminta apa, akhirnya ku serahkan semuanya kepada kedua orang tuaku. 

"Perkara mahar saya serahkan semuanya kepada kamu Nak, mahar yang sekiranya tidak memberatkan kamu dan juga tidak merendahkan anak saya, karena saya tau kamu pasti juga akan memberikan mahar yang pantas untuk anak saya," kata Ayahku. 

kami memasrahkan perkara mahar kepada pria yang akan menjadi calon suamiku itu. Baru aku tahu, ternyata dia adalah anak tunggal dari keluarga Bapak Setyobudi. Dia juga seorang dokter muda yang sudah mapan. Keluarganya pun kaya raya dan cukup terpandang. Mungkin banyak orang yang berpikir jika mereka adalah calon besan dan calon mantu idaman bagi para orang tua. Aku jadi cukup curiga dengan keluargaku.

Mengapa mereka memaksa aku dan Mbak Della untuk tetap menikah dengan pria itu? Apakah alasan mereka karena uang? 

Kami berdua berangkat untuk fitting baju. Baju pengantin dengan atasan kebaya berwarna putih dan bawahan kain batik adalah ciri khas dari pengantin adat Jawa. Aku akan menggunakannya saat akad nikah. Pakaian yang pas di tubuhku yang sintal dan tidak terlalu tinggi ini. 

"Kamu cantik," ucap pria itu sambil memandangiku. Aku terkejut, saat pria menyebalkan itu memujiku secara tiba-tiba, spontan aku menoleh ke arahnya. 

"Aku emang cantik dari lahir! Om, aja yang baru sadar!" jawabku agak ketus, menutupi rasa senang karena dipuji cantik. 

Saat sedang sibuk menjajal beberapa gaun pengantin, ponsel yang aku letakkan di atas meja itu berbunyi, ternyata Tika menelponku, Rianti Kartikasari, sahabatku di kampus, teman indekos sekaligus teman satu jurusan. Tika adalah mahasiswi perantauan yang berasal dari Jakarta, logat betawinya pun masih terlihat kental. Orangnya ramah, tapi Tika kelewat ramah sih, kalo ngomong suka nyablak dan kadang malah malu-maluin. Meski begitu, Tika adalah orang yang baik dan setia kawan. 

"Halo, Tik,"

"Mira, gue turut berbela sungkawa atas kepergian Kakung lo."

"Iya, Tik. Makasih ya."

"Tapi kenapa lo kok gak ngomong sih kalo Kakung lo udah gak ada?"

"Maaf, Tik. Aku gak sempet ngabarin, btw kamu dapet kabar dari mana? "

"Dari Kak Dimas, Mir. Ini gue sama Kak Dimas mau meluncur ke rumah lo,"

"Ha? Sekarang Tik?"

"Iya sekarang lah!"

Panik, satu kata yang dapat tergambar dari wajahku, si dokter itu juga melihat wajahku yang panik itu. 

Bisa-bisanya mereka datang ke rumah pas lagi situasi kayak gini!

"Kamu masih dimana, Tik?" tanyaku agak panik

"Masih di pom nih, kayaknya sih 15 menit lagi sampai. Tapi sekarang gue masih di toilet pom nih, biasa lah panggilan alam."

"Ya udah santai aja ya, gak usah buru buru, selesaikan dulu itu panggilan alammu! ya udah byee!"

PENGANTIN DADAKAN ✔  [ Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang