BAB 15 : Asisten Pribadi Dokter

3.8K 245 0
                                    

Hari ini aku libur, tidak ada bimbingan skripsi dari dosen pembimbingku. Aku memanfaatkan waktu berhargaku ini untuk me time, sebelum nanti aku berangkat bekerja.

Setelah mengerjakan semua pekerjaan rumah tanggaku, aku beristirahat, menonton tv dan memakan beberapa camilan favoritku. Ponselku berdering, Mas Satrio menelponku, lalu kuangkat teleponnya. Biasanya dia menelponku cuma pengen tau aku sedang berada dimana. 

"Aku masih ada di rumah. Aku gak ke kampus, dosbingku lagi keluar kota, ada apa Mas nelpon aku?" kataku rinci agar dia tak menanyaiku lagi.

"Bagus Sayang. Mas boleh minta tolong gak?"

"Tumben Mas panggil aku sayang? Pasti Mas panggil gitu kalo ada maunya doang, ya kan?"

"Ya udah mulai sekarang saya panggil kamu sayang."

"Jangan deh, jangan."

"Ya udah, kesempatan gak akan datang dua kali. Gini sayang, saya ingin meminta tolong sama kamu,  kamu mau ya gantiin Ayu jadi Asisten pribadiku ya, sehari aja."

"Loh nanti siang aku kerja kan Mas, jadi aku gak bisa. Emangnya Mbak Ayu kemana?"

"Ayu ada urusan mendadak, jadi dia ijin cuti satu hari. Kalo masalah itu saya sudah bilang ke Dimas kalo kamu hari ini sakit, jadi dia ngebolehin kamu libur."

"Mas, ya janga..,"

"Ayo lah sayang, sehari aja. Lagian kan hari ini hari jumat, besok kan weekend Sayang, jadi besok kliniknya tutup. Lagian saya gak tau harus gantiin Ayu sama siapa lagi, saya gak punya asisten cadangan. Mau ya sayang, kalo kamu mau nanti saya bakalan turutin deh apa yang kamu mau."

"Bener nih? "

"Bener Sayang, saya janji. Bentar lagi saya sampe rumah kok."

"Ya udah cepet pulang."

Aku menyetujui permintaan dari Mas Satrio. Kadang aku gak habis pikir, ada saja prilaku random yang sering membuatku terkejut. Menjadi asisten dokter? Apakah aku bisa? Ini adalah suatu hal baru yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.

Tak beberapa lama kemudian, Mas Satrio datang ke rumah. Sebelum membuka kliniknya dia membersihkan dirinya. Karena terburu buru, dia tak sempat untuk makan siang. Dan aku mempersiapkan makan siang kilat untuknya, setelah selesai mandi, dia langsung makan. 

"Mas, nanti tugasku di klinik ngapain aja?" tanyaku

"Semua tugas sudah saya tuliskan di dalam buku panduan kerja yang ada di dalam laci receptionist. Dan tugas kamu yang paling terpenting adalah kamu harus ramah dan bisa bersikap profesional, bisa membedakan antara perkerjaan dan hal pribadi!" jelasnya. 

"Aku selalu ramah dan bersikap seprofesional mungkin loh Mas dalam melakukan semua pekerjaan!" bantahku

"Ah, masa sih? kok saya gak yakin ya?  Buktinya kamu jarang senyum dan sering memperlakukan saya seenak kamu. Jadi saya agak tidak terlalu yakin sih sama kamu!" godanya

"Mas kalo dalam dunia pekerjaan insyaallah aku bisa bersikap profesional ya Mas."

"Tapi kenapa kamu selalu memperlakukan saya dengan berbeda?"

"Kalo itu beda lagi dong, aku kan ada kontrak kerja, dan aku juga dibayar atas tenaga dan keprofesionalan yang aku punya." jawabku dengan yakin, aku yakin pasti dia tak akan mampu menjawabku lagi

"Kontrak kerja kamu bilang? Padahal saya dan kamu juga ada kontrak loh,  bahkan kontrak seumur hidup dengan saya!"

"Kontrak apa memangnya? "

"Ijab qobul, kan itu kontrak perjanjian seumur hidup antara kita berdua, keluarga kita dan kepada Tuhan."

"Tapi kan tetap saja berbeda. Saya kan kerja nyari uang, jadi saya harus bisa bersikap profesional dong, Mas!"

"Sebenarnya buat apa sih kamu kerja? Toh kamu setiap bulannya juga  menerima uang bulanan dari saya. Sama saja kan? Sama seperti kamu kerja di cafenya Dimas. Sebenarnya kamu gak usah kerja, karena saya suami kamu, dan tugas saya sebagai seorang suami adalah menafkahi istri lahir dan batin. Anggap saja kalo kamu itu kerja sama saya, hanya saja   pekerjaan kamu cuma di dalam rumah dan hanya saya satu satunya pelanggan kamu!"

Lagi lagi dia menang, sepertinya sampai kapan pun aku gak akan pernah bisa kalahin dia buat debat. Aku pun terdiam karena aku menerima kekalahanku, yang jelas aku harus lebih sabar lagi untuk menghadapinya. Makan siang selesai. Kami bersiap siap untuk membuka klinik. 

Untuk pertama kalinya aku masuk ke dalam ruang praktiknya. Karena sejak aku pindah ke rumah ini, tak sekalipun aku pernah menginjakkan kaki ku ke kliniknya.

Ruangannya luas, di dalam ruangan itu sangat ceria. Ruang tunggu yang penuh dengan wallpaper dengan warna warni yang lucu dengan bentuk hewan dan kartun. Kursi tunggu pasien yang berwarna warni. Di sudut ruangan terdapat area bermain anak. Ada banyak sekali boneka, mobil-mobilan, kereta-keretaan serta mainan-mainan lainnya. Juga ada kolam mandi bola yang tidak terlalu besar. Di sebelah meja receptionist terdapat sebuah ruang yang digunakan sebagai ruang pemeriksaan. Beda sekali dengan suasana rumah yang terlihat kaku, khas orang dewasa yang ambisius.

Di dalamnya pun sama, dindingnya di lapisi oleh wallpaper yang bertemakan bawah laut, banyak ikan dan ubur ubur yang seolah olah tersenyum kepada pasien. Ranjang pemeriksaanya berbentuk kura kura besar dengan kasur yang berbentuk tempurung yang terletak diatas ranjang kura kura tadi. 

Pasien pertama, pasien kedua, sampai pasien ke empat puluh tiga, sudah masuk dan di tangani. Sebentar lagi pasien ke empat puluh empat masuk.

"Pasien nomor urut 44 atas nama Brian Mahardika, silakan masuk!" ucapku. 

Pasien dan orang tuanya pun masuk, Mas Satrio segera menyambut pasiennya dengan hangat. Setelah memeriksa, Mas Satrio memberikan diagnosisnya. Kali ini, aku melihatnya dari sudut pandang yang berbeda dari biasanya. Nampak dia melayani para pasiennya dengan sepenuh hatinya. Senyuman ramah, dan kata katanya yang lembut, serta dia amat sangat ramah kepada pasien dan orang tua pasien. Sepertinya dia juga sangat menyukai anak anak. 

Pantas saja, tempat praktek Mas Satrio lebih ramai ketimbang tempat praktek lainnya. Selain dokternya yang tampan, dia juga ramah dan baik kepada pasien dan keluarganya. Mangkanya banyak pasien yang ingin berobat kemari. Cukup lama aku memandangi suamiku, aku terkesima melihatnya begitu berbeda saat berhadapan dengan pasien kecilnya ini. Tanpa sadar, aku tersenyum kecil saat mengamatinya. 

Tanpa sengaja aku melirik ke arah si ibu dari pasien kecil ini. Kenapa dari tadi dia terus memandangiku? Aku pun tersenyum kepadanya, dan dia juga membalas senyumku. 

"Mbak suster baru ya disini?" tanya Ibu itu padaku

"Oh, bukan Bu. Dia istri saya. Saya minta tolong sama dia buat bantuin saya di klinik." jawab Mas Satrio.

Aku pun tersenyum ramah ke Ibu itu. 

"Istri dokter? Bukannya dokter pacarnya dokter Vera ya?"

Kenapa sekarang semua orang sering membahas tentang dokter Vera sih!

"Tidak Bu, dia mantan saya. Saya sudah putus dengannya dua tahun yang lalu. Dan sekarang saya sudah menikah, ini istri saya." jawabnya sambil memegangi tanganku. 

"Oh, maaf, maaf. Saya tidak tahu. Saya pikir dokter belum menikah dan masih pacaran dengan dokter Vera. Maaf ya Mbak." kata ibu itu. 

"Iya gpp Bu."jawabku dengan senyuman. 

Lagi lagi harus membahas dokter Vera. Aku berusaha menahannya sedikit gejolak yang ada di dada dan berusaha bersikap seprofesional mungkin di hadapan para pasien dan pengunjung lainnya.

Lalu pasien itu keluar, dan aku pun memanggil pasien selanjutnya sampai pasien terakhir. Pasien sudah habis, jam sepuluh lebih empat puluh lima menit, kami menutup klinik. Ternyata bekerja di klinik cukup menyenangkan juga, hanya saja perkataan ibu ibu itu cukup mengganggu pikiranku.

PENGANTIN DADAKAN ✔  [ Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang