BAB 7 : Syarat Perjanjian Nikah

4.7K 297 1
                                    

Tiba-tiba aku teringat oleh beberapa syarat yang ingin ku berikan untuknya.

"O iya, aku kan belum bilang tentang syarat-syarat yang aku minta sebelum aku nikah sama, Om,"

"Kamu mau minta apa?"

Aku berdiri, mencari selembar kertas dan pulpen. Lalu aku tulis beberapa syarat yang aku minta. Tak lupa aku menempelkan sebuah materai sebagai pengikat sah sebuah perjanjian.

"Syarat pertama, jangan pernah mempublikasikan hubungan kita di depan temen-temen aku, kecuali aku sendiri yang bilang,"

"Oke!" ucapnya sambil tetap asyik memainkan ponselnya, membalasi satu persatu ucapan pernikahan yang datang dari teman temannya.

"Syarat kedua, jangan pernah urusin urusan pribadi masing-masing!"

"Oke!"

"Syarat ketiga jangan pernah sentuh tubuh saya tanpa persetujuanku!ngerti, Om?"

"Baik!" lalu kami menandatangani surat perjanjian itu yang menandakan jika kami sama sama menyetujuinya.

"Tapi saya juga punya beberapa syarat buat kamu."

"Loh! kan dari awal cuman aku yang boleh ngajuin syarat! kok Om ikut ikutan juga sih?"

"Tapi sekarang kan situasinya sudah berbeda, saya kan suami kamu, jadi saya lebih mempunyai wewenang di atas kamu."

Huh!

Aku hanya bisa mendengus kesal karena dia mulai bersikap seenaknya padaku.

"Apa syaratnya?" tanyaku dengan sedikit kesal

Lalu pria itu merebut surat perjanjian yang aku pegang tadi. Lalu dia menuliskan beberapa syarat yang dia ajukan juga kepadaku di bawah tulisan tanganku yang masih banyak baris kosong yang belum terisi di dalam kertas itu.

"Syarat pertama, mulai hari ini panggil saya Mas atau Sayang, bukan Om lagi!"

"Hah! Terserah aku dong mau panggil, Om apa kan mulut juga mulut aku!"

Pletakk, tangan pria sinting itu menjitak kepalaku lagi.

"Awww, sakit! Kasar banget sih jadi orang! "keluhku kesakitan

"Mangkanya nurut dong apa kata suami!"

"Syarat kedua, saya ingin kamu menjadi istri saya yang baik dan penurut!"

Sabar sabar..

"Syarat yang ketiga, kamu harus menjalankan tugas kamu sebagai istri, seperti bersih-bersih, masak, mencuci dan menyiapkan segala keperluan dan keinginan saya, termasuk untuk menghapus syarat kedua dan syarat ketiga yang kamu minta tadi, titik, tidak boleh di bantah!"

"Loh, loh! kok Om curang sih? tapi kan ak..,"

"Panggil saya, Mas atau Sayang?"

"Ya tapi kan Mas curang! suratnya tadi kan memang sudah aku tanda tangani. Jadi gak sah dong! Trus tiba tiba Mas tambahin lagi sama tulisan Mas, kalo kaya gini gak adil dong! Ya trus buat apa kita buat perjanjian kalo pada akhirnya syarat yang aku minta tetep Mas langgar?"

"Bukannya saya melanggar, kan saya sudah setuju untuk menuruti syarat yang kamu ajukan di poin pertama. Apalagi perjanjian ini kamu buat secara sadar, ada tanda tangan dan materai juga, jadi apanya yang tidak sah? Perjanjian ini saya simpan saja, takutnya kamu sobek atau kamu ilangin lagi!"

Aku berusaha merebut surat perjanjian itu, namun dia berusaha melindungi surat itu dengan badannya dan segera menyimpannya ke dalam briefcase yang sempat dia turunkan dari dalam mobil. Emosiku memuncak, aku sudah tak kuat menahannya lagi. Aku menjambak rambut pria menyebalkan itu dengan kedua tanganku, dengan sedikit menggeram kusalurkan amarah yang selama ini aku pendam hingga dia menjerit kesakitan.

Namun tiba-tiba keadaan berbalik. Dia menyerangku balik dengan menjatuhkanku di atas kasur, dia guling-gulingkan tubuhku hingga saat ini dia sudah menindihi tubuhku dengan posisi terlentang. Handuk yang aku lilitkan di kepalaku itu terlepas, sekarang rambut pendek lurus sebahuku terurai. Kini dia sudah melihat salah satu auratku. Aku kalah tenaga, tapi tanganku masih berada di posisi yang sama, masih menjambaki rambutnya.

"Om, lepasin dong! kamu itu berat!" seruku bernafas dengan nafas yang tersengal sengal

"Tangan kamu dulu nih lepasin, sakit tau!" tangannya yang merusaha melepaskan tanganku dari rambutnya

Lalu kulepaskan tanganku dari rambutnya. Namun badannya masih menindihi badanku. Aku meronta untuk melepaskannya. Tiba-tiba saja kedua tangan dokter sinting itu menindihi kedua tanganku hingga posisi kedua tanganku yang ikut tertindih itu sejajar dengan kepalaku dan wajah kami pun saling berhadap hadapan. Jarak antara wajahku dan wajahnya pun kian mendekat.

"Mau apa kamu? Lepasin dong! aku tadi kan udah bilang, jangan sentuh tubuhku tanpa ada persetujuan dariku!" teriakku

"Saya sedang mendisiplinkan kamu dan saya mau mengajari kamu, supaya kamu tidak seenaknya sama saya! kamu itu istri yang nakal, jadi saya mau memberi kamu pelajaran!"

"Ngasih pelajaran ap..," ucapanku terputus, dia membungakam mulutku dengan mulutnya. Mataku melotot, aku terkejut dengan perlakuannya.

Sial, apa yang dilakukan pria sinting ini padaku?

Ini ciuman pertamaku. Dia mengambilnya secara cuma-cuma. Lalu kudorong tubuh tingginya itu sekuat tenagaku.

Ku jambak lagi rambutnya, ku cakar wajahnya, ku pukul lengannya. Dia membuatku semakin kesal, ingin ku hajar dia sampai babak belur, namun dia tak sekalipun melawanku, dia hanya berusaha melindungi dirinya dari seranganku.

Akhirnya aku berusaha mengalah. Aku lepaskan jambakanku. Aku mengambil bantal dan selimut yang ada di atas kasurku, lalu ku gelar selimut itu di atas lantai. Dan aku tidur diatas sana. Aku memperingatkannya agar dia tak berusaha mendekati atau menyentuh tubuhku lagi. Dan aku pun tidur dengan perasaan yang amat sangat kesal.

PENGANTIN DADAKAN ✔  [ Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang