02. Gudang Saksi Cinta

119 9 0
                                    

"Kuingatkan lagi.
Aku mencintaimu dan akan tetap mencintaimu.
Tak akan pernah berubah sampai takdir berkata,
'berhenti, dia bukan untukmu'."

✍️✍️✍️

Aktivitas Arvin merapikan kardus-kardus yang entah apa isinya itu terhenti saat merasakan ada tangan yang mengusap keringatnya menggunakan sapu tangan. Cowok itu menoleh dan mendapati Nadia yang sedang tersenyum tipis ke arahnya.

Lelah yang dirasakannya seketika lenyap hanya karena melihat senyuman tipis itu. Bukan hanya lelah, tapi juga rasa kecewa yang sempat dia rasakan juga ikut lenyap. Senyuman tipis yang terlihat tulus itu selalu berhasil membuatnya jatuh cinta lagi. Berkali-kali jatuh, namun dia sangat menikmatinya.

"Istirahat dulu, yuk," ajak Nadia seraya memberikan plastik berisi roti dan susu kotak kepada Arvin. Dengan senang hati, Arvin menerima pemberian pacarnya itu.

"Kayaknya aku gak bisa kecewa terlalu lama sama kamu. Masa cuma senyum tipis bisa buat aku makin cinta sama kamu."

Nadia sendiri tidak tahu apakah itu hanya godaan atau memang seperti itu, makanya dia hanya merespon dengan senyuman. Arvin sendiri sudah terbiasa dengan respon Nadia yang seperti itu. Karena Arvin sangat mengenal sifat khas Nadia yang tidak pernah merespon lebih.

Arvin merenggangkan tubuhnya, lantas menyeruput susu kotak yang sudah dibeli oleh Nadia untuknya.

"Sering-sering, lah, kayak gini supaya aku makin cinta sama kamu." Setelah berucap demikian, Arvin mengedipkan sebelah matanya ke arah Nadia yang masih mengukir senyum manis di wajahnya.

"Nadia ...."

"Kadang aku bingung, Vin. Dalam hubungan ini, sebenarnya siapa yang sering tersakiti? Aku ... atau kamu?"

Setelah sempat terdiam sambil menatap baik-baik wajah Arvin, Nadia akhirnya bisa membuka mulutnya untuk bertanya.

Saat susu kotak itu sudah habis, Arvin membuangnya asal. Bukannya menjawab pertanyaan Nadia, cowok itu justru membuka bungkus roti dan membaginya menjadi dua. Setengah dari roti itu diberikan kepada Nadia.

"Makan."

"Kamu gak bersedia menjawab?"

Arvin mengedikkan bahu. "Buat apa menjawab kalau kamu sudah tahu jawabannya?"

"Aku gak tahu."

"Gini, deh. Kamu sering merasa tersakiti karena aku?"

Nadia mengangguk sehingga membuat Arvin bertanya dalam hati, "Berarti selama ini aku gagal?"

Selama menjalin hubungan dengan Nadia, dia selalu berusaha menunjukkan perhatiannya dan membuat Nadia bahagia. Tapi, respon pacarnya itu memberitahunya bahwa semua yang dia lakukan selama lebih dari dua bulan pacaran tidak berarti apa-apa untuk membahagiakannya.

Cowok itu tersenyum lebar. Kali ini Nadia yang dibuat bingung dengan responnya.

Arvin menelan roti yang sudah dikunyah sebelum berucap, "Sama. Aku juga sering tersakiti karena sikap kamu. Jadi intinya, kita berdua saling menyakiti satu sama lain. Impas, dong?"

"Kita pacaran atau musuhan, sih? Kok aku merasa kita saling balas dendam?"

"Boleh nanya balik gak?" Arvin menaikkan satu alisnya. Akan tetapi, dia tidak mendapat jawaban dari Nadia. Yang ada Nadia justru menatapnya dengan penuh keheranan. "Oke, diam berarti boleh. Kamu cinta sama aku gak?"

"Pertanyaan bodoh." Nadia membuang tatapannya ke arah lain.

"Iya atau gak?"

"Kamu tahu jawabannya, Arvin."

Arvin & NadiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang