30. Pelukan Hangat

41 4 3
                                    

“Kamu selalu ada untuk mereka.
Menghibur mereka kala sedih dan membantu mereka saat mereka butuh.
Sayangnya, kamu lupa bahwa kamu juga membutuhkan mereka, tapi mereka tidak pernah ada untukmu.
Kamu akhirnya sadar bahwa selama ini kamu hanya dimanfaatkan.”

✍️✍️✍️

Hari pertama Arvin bersekolah di SMA Bakti Negeri berjalan dengan begitu baik. Ternyata guru-guru di sekolah ini sangat ramah kepadanya meskipun mereka tahu sejumlah 'catatan merah' yang dimiliki Arvin.

Guru-guru itu memperlakukannya dengan baik, bahkan ada beberapa guru yang menawarkannya untuk belajar di luar sekolah untuk lebih meningkatkan kemampuannya. Arvin pun tidak segan-segan untuk menerima tawaran itu.

Karena setelah memutuskan untuk keluar dari SMA Merdeka, Arvin sudah bertekad untuk balas dendam.

Balas dendam dalam arti menjadi orang yang lebih sukses dari mereka yang bersekolah di sana. Dan untuk balas dendam, Arvin butuh kerja keras. Dia tidak akan menghabiskan waktunya lagi untuk melakukan hal-hal yang tidak perlu.

"Arvin!" Langkahnya untuk menuju parkiran sekolah terhenti ketika mendengar namanya dipanggil. Cowok itu menoleh ke belakang. Dia melihat Pak Raja sedang berjalan ke arahnya.

"Iya, Pak?"

"Hanya mau mengingatkan, kalau sebentar kamu mau ikut bimbel untuk mata pelajaran Matematika, langsung saja datang ke rumah Bapak. Nanti Bapak kirim lokasinya."

"Pak Raja udah punya nomor saya?" tanya Arvin heran.

"Pak Bram yang memberikannya. Dia juga yang meminta saya untuk menawarkan bimbel ini ke kamu."

"Oh, gitu." Arvin mengangguk paham. Ternyata ini semua karena ayahnya Angel. Arvin sangat berterima kasih dan berhutang budi kepada mereka. Karena tanpa mereka, Arvin tidak tahu bagaimana caranya untuk bisa bersekolah lagi.

Pak Raja memegang bahu Arvin. "Tunjukkan keseriusan kamu. Karena Bapak juga serius untuk membantu kamu."

"Siap, Pak. Makasih banyak sebelumnya," ucap Arvin, lantas tersenyum lebar.

Setelah selesai mengingatkan Arvin soal bimbel, Pak Raja segera pergi meninggalkannya. Arvin pun segera menuju parkiran lalu menaiki motor yang dipinjamkan oleh Bram kepadanya untuk mengantar-jemput Angel.

Bram sempat menawarkan Arvin untuk membawa mobil, namun Angel ternyata lebih suka naik motor daripada naik mobil. Akhirnya Bram meminjamkan salah satu motor Gian kepadanya.

Ketika Arvin hendak mengenakan helm, tiba-tiba saja bahunya ditarik ke belakang oleh seseorang.

"Turun," kata orang itu.

Karena tidak ingin adanya keributan di hari pertamanya sekolah, Arvin memilih untuk patuh. Cowok itu turun dari motor itu, lantas berdiri berhadapan dengan Gian.

"Enak, ya, pakai fasilitas orang?" tanya Gian sambil memasang wajah tidak suka.

"Gak. Gue bahkan gak nyaman sekolah di sini karena dibiayai oleh orang lain. Gue gak terbiasa hidup dengan bantuan orang lain," jawab Arvin dengan penuh kejujuran.

Tentu saja Arvin merasa berbeda akhir-akhir ini. Dia tidak lagi bekerja di pasar untuk membiayai sekolahnya, dan bahkan dia tidak perlu memikirkan bagaimana caranya untuk mendapat uang. Namun, itu tidak membuat Arvin senang. Dia justru menjalani hari-harinya dengan tidak nyaman.

Arvin & NadiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang