37. Pamit.

54 4 0
                                    

“Dulu aku begitu mencintaimu,
tak ingin kehilanganmu.
Namun pada akhirnya,
takdir membawaku pada kenyataan bahwa kita memang tak pantas untuk bersama.”

️✍️✍️✍️

Sean tiba-tiba menghentikan langkahnya ketika dia melihat Nadia sedang menidurkan kepalanya di atas meja ruang OSIS.

Sadar bahwa saat ini dia sedang berjalan sendirian, Hardi pun menoleh ke belakang. "Woy, ngapain? Yang lain udah pada nungguin."

"Duluan aja. Nanti gue nyusul."

"Ayo, bareng aja!"

"Duluan aja," kata Sean sambil mengibas-ngibaskan tangannya seperti mengusir Hardi untuk pergi.

"Ya, udah, oke. Cepetan, ya!" Hardi akhirnya mengalah. Cowok itu meninggalkan Sean yang memintanya untuk pergi lebih dulu menemui teman-teman mereka yang lain tanpa alasan yang jelas.

Setelah kepergian Hardi, Sean masuk ke ruang OSIS yang tidak dikunci itu. Laptop di depan Nadia masih menyala. Itu tandanya, Nadia baru saja tertidur.

Layar laptop itu menampilkan tampilan di Microsoft Word.

Proposal Kegiatan Pentas Seni SMA Merdeka. Sean membaca judul yang tertera dalam hati.

Melihat Nadia yang sepertinya sedang tertidur pulas karena mungkin kelelahan melakukan revisi, Sean pun segera mengambil tindakan. Cowok itu duduk lalu mulai 'mengotak-atik' proposal kegiatan itu.

"Sean?!" Cowok itu sangat terkejut ketika Nadia tiba-tiba terbangun dari tidurnya. "Kamu ngapain?" tanya cewek itu curiga.

Nadia mengambil laptopnya dan mengecek apa yang sebenarnya Sean lakukan. Setelah selesai mengecek, gadis itu menatap Sean yang sedang memijat pangkal hidungnya.

"Ke-kenapa kamu—"

"Pantas aja pensi ditunda. Ternyata proposalnya gak kelar-kelar?" potong Sean seraya menatap Nadia.

Nadia diam. Memang dia sudah beberapa kali melakukan revisi untuk proposal ini, tapi tidak pernah sempurna. Mungkin karena fokus Nadia terbagi sehingga dia tidak bisa benar-benar fokus membereskan tugas-tugasnya dengan baik.

Ketika mengecek proposal kegiatan itu, Nadia tidak percaya bahwa Sean ternyata membantunya melakukan revisi. Bahkan ada beberapa bagian yang Sean hapus dan tambahkan sehingga membuat proposal itu lebih rapi.

"Gue gak ada maksud lain. Gue cuma bantuin lo perbaiki proposal itu." Sean berdiri dari tempat duduknya. "Berani taruhan?" tanyanya.

Nadia mengernyit tidak mengerti.

"Proposal itu akan disukai dan segera disetujui oleh pihak sekolah."

Sombong.

Satu kata itu yang terlintas di pikiran Nadia ketika Sean mengatakan itu. Cowok itu tersenyum tipis ke arahnya, lantas keluar dari ruangan OSIS itu.

Nadia menghembuskan nafas pelan. Ketika dia hendak mengambil jas almamater yang dia sampirkan di kursi, dia melihat sebuah sticky note berwarna kuning.

Arvin & NadiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang