20. Hari Penting

31 5 0
                                    

“Yang dilakukan oleh seorang pemenang saat bertanding adalah berjuang dengan percaya diri, bukan meragukan diri sendiri.”

✍️✍️✍️

"Gimana, Kak? Udah dapat donor ginjal buat Bunda?" tanya Arvin dengan penuh pengharapan.

Sayangnya, Arvin mendapat jawaban yang tidak dia inginkan dari Alfa. "Aku udah usaha keras. Aku udah coba hubungi saudara-saudara kita, tapi gak ada yang bersedia dengan berbagai alasan yang ... ya, bisa dimengerti."

"Apa mereka gak peduli lagi sama Bunda?"

"Bukan gitu, Vin. Mereka juga care banget sama Bunda. Tapi, mereka juga gak bisa mengorbankan diri mereka sendiri karena ada keluarga yang harus mereka urus."

"Bunda juga keluarga mereka, Kak ...." Mata cowok itu mulai berkaca-kaca. Ketika mendengar ucapan kakaknya barusan, dia merasa bahwa dia hampir berada di titik keputusasaan.

Uang yang dijanjikan Gian sudah ditransfer. Sekarang yang Arvin butuhkan adalah seseorang yang mau mendonorkan ginjalnya untuk ibunya.

"Aku siap, Vin. Aku siap mendonorkan ginjalku untuk Bunda."

Arvin mengusap wajahnya. Setelah dia pikir-pikir, dia tidak bisa membiarkan kakaknya hidup dengan satu ginjal. Karena tentu saja itu akan mengganggu kesehatan kakaknya.

"Kak, pasti ada cara lain. Pasti ada orang yang mau mendonorkan ginjal untuk Bunda."

"Ada, Vin. Orangnya aku."

Sambil mengusap air matanya, Arvin menggelengkan kepala tidak setuju. "Gak bisa, Kak ...."

"Loh, kamu kenapa, sih? Keselamatan Bunda adalah yang paling utama, 'kan? Aku udah siap mendonorkan ginjal untuk Bunda."

"Gak bisa!" tegas Arvin yang membuat Alfa bungkam. "Kalau Bunda tahu, Bunda gak akan mau!"

"Pelankan suara kamu. Kalau Bunda dengar—"

"Bunda sudah dengar." Suara itu membuat mereka menoleh ke belakang. Alangkah terkejutnya mereka melihat Astrid sudah berdiri di ambang pintu sambil menangis.

"Bun, ...."

Alfa berjalan mendekati Astrid, lantas memegang tangan ibunya itu.

"Setelah Bunda pikir-pikir, Bunda lebih baik mati daripada melihat kalian menderita seperti ini."

"Jangan ngomong gitu, Bun. Arvin udah dapat uang untuk operasi Bunda. Jadi, Bunda jangan—"

"Dari mana kamu dapat uang itu, Vin?"

"Arvin pinjam, Bun."

"Jujur, Vin. Dari mana kamu dapat uangnya?" Astrid bertanya lembut, meskipun kenyataannya hatinya hancur melihat kedua anaknya berusaha keras untuk kesembuhannya meskipun dengan melakukan berbagai cara.

Arvin terdiam. Kalau dia berkata jujur, Astrid pasti akan memintanya untuk mengembalikan uang itu kepada Gian.

Astrid mengeluarkan ponselnya, lalu menunjukkan salah satu pesan di ponselnya kepada Alfa. "Bunda gak nyangka, anak Bunda bisa bersikap gegabah seperti itu hanya untuk keselamatan Bunda."

Arvin & NadiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang