Babak III : 3. Belum Waktu.

2.5K 342 31
                                    

Sekarang, 1999.

"Buk! Ibuk!"

"Ada apa teriak-teriak?" tanya Lastri sambil menyeruput kopinya pelan.

"Nonik bilang gula darah Ibuk naik. Aduh! Kok masih minum kopi. Lintang sudah memperingatkan Nonik supaya nggak boleh kasih Ibuk minum kopi."

"Duduk, Lintang. Ibu nggak akan mati gara-gara kopi. Lagipula ini tak ada gulanya," jawab Lastri pelan.

"Benarkah?" tanya Lintang.

"Duduklah, Lintang. Ibu mau bicara denganmu."

Lintang menuruti perintah Lastri. Ia duduk di kursi tepat di hadapan ibunya. Lastri meminta salah seorang pembantunya untuk membuatkan kopi untuk anaknya.

"Ada apa, Buk?"

"Berapa usiamu saat ini?"

"Apa kita akan membicarakan ini dan ini lagi, Buk?"

"Ibuk nggak mau mati sebelum kau tinggal di rumah ini lagi."

"Aku punya rumah sendiri," bantah Lintang.

"Ini rumahmu."

"Ini rumah Bapak."

"Ini rumahmu, Lintang. Kau membelinya di saat usaha Bapak bangkrut. Kau harus tinggal di sini," balas Lastri.

"Suruh Harjo tinggal bersamamu. Dia anak tertua," jawab Lintang. Lastri menggeleng.

"Kau yang akan memiliki rumah ini, bukan Harjo."

"Aku nyaman tinggal sendiri," alasan Lintang.

"Juga nyaman hidup sendiri?"

"Biarlah Lintang memiliki hidupnya sendiri, Ibu," sahut Nonik. Wanita berusia di atas lima puluhan itu masuk ke ruang utama sambil membawa kopi di atas baki kayu. Ia berada di dapur ketika mendengar pembantu mengatakan kalau Lintang datang menemui ibunya. Jadi segera kakak dari pria itu bergegas menemui adiknya.

"Lintang pasti memiliki alasannya kenapa dia nyaman dengan tinggal sendiri."

"Dia memiliki harta dan kekuasaan, Ibu nggak habis pikir ke mana semua perempuan cantik sampai tak ada satu pun yang bisa menarik hatinya," tukas Lastri menunjukkan kekesalannya.

"Ibu tak usah memikirkan tentang kehidupan Lintang. Saudaraku yang satu ini istimewa," balas Nonik sambil menata cangkir Lintang di atas meja. Ia juga sempat mengedipkan matanya pada saudara laki-lakinya itu.

"Terbukti kalau hidupnya baik-baik saja, meskipun mengurus banyak hal termasuk Ibu dan aku," lanjutnya sebelum duduk di samping Lastri.

"Ibu ini sudah tua, Nik. Kalau bisa Ibu ingin memastikan semua anak Ibu hidup bahagia."

Nonik tersenyum. "Apa Ibu pikir Lintang tak bahagia dengan hidupnya sekarang?"

Lastri tiba-tiba memegang lengan putranya dan menatap wajahnya dengan serius.

"Apa kau pernah berpikir untuk menikah dan entah karena alasan apa tidak jadi?"

Nyonya Rumah. (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang