Video kisah Ambar - Lintang ada di chanel youtube saya. 👆
"Itu bukan salahmu, Ambar. Keluar dari kamarmu!"
Hati Lintang perih. Keluarga ini sedang berduka, Endang pergi menghadapi Sang Khalik dalam kecelakaan ketika motornya membawanya tertabrak bus umum yang supirnya ugal-ugalan. Ketika Lastri sadar dari pingsang, dia menyalahkan Ambar karena Endang pamit untuk mengambil pesanan kancing.
Kenapa bukan kau yang mati?
Lastri menampar Ambar bahkan mencekiknya sampai harus dipisahkan oleh para pembantu rumah tangga. Kemudian Lastri pingsan lagi. Lintang tak ada di tempat saat itu karena sedang mengurus mayat Endang yang harus segera dipulangkan ke rumah dan juga melapor pada polisi. Dia hanya mendengar dari para pembantu kalau ibunya menyalahkan Ambar. Keduanya belum bicara karena wanita itu mengurung diri di kamarnya. Arjuna diurus oleh salah seorang pembantu karena Harjo kuatir Ambar tidak sehat.
"Kita harus bicara, Ambar. Kau baik-baik saja 'kan? Aku bawa makanan buatmu. Kau harus makan."
Lintang memutar knop pintu tapi ternyata dikunci dari dalam oleh Ambar.
"Aku harus pergi ke pemakaman. Kasihan Endang kalau aku tidak pergi. Kau baik-baik saja ya, aku tinggal. Harus makan. Arjuna butuh kau. Kami ... butuh kau ..."
Suaranya serak, dia hampir mencetuskan kalimat, aku butuh kau tapi dia menelan kembali kata-katanya. Situasi sudah seperti ini, Lintang tak mau mengambil resiko untuk menambah satu masalah lagi.
"Kau sadar kan kalau sejak masuk rumah ini, kau sudah jadi tiang penyangga? Kau ingat Endang juga bilang dia senang karena kau yang jadi kakak iparnya. Jangan dimasukkan ke dalam hati perkataan Ibuk. Dia bilang begitu karena ..."
Lintang tak pernah menyangka kalau sebagai laki-laki, dia bisa menangis. Dia bersandar pada pintu kayu kamar Ambar. Kamar itu sendiri menghadap Timur dan cahaya masuk melalui jendela depan rumah ke kamar itu. Cahaya matahari pagi menyilaukan pandangannya. Dipejamkannya matanya dan airmatanya makin mengalir.
Endang sudah pergi. Padahal mereka berjanji untuk pergi main badminton bersama. Kakaknya tak akan bisa menepati janjinya.
"Ibu bilang begitu karena dia kehilangan Endang. Kau jangan begitu lagi, Ambar ... Apa nggak kasihan sama Arjuna?"
Lintang harus membawa wanita itu keluar dari rasa kehilangannya, seperti dirinya juga. Mereka harus mengikhlaskan Endang agar kakaknya tenang di alam sana. Ambar tak patut disalahkan, kalau ada yang disalahkan, Lintanglah orangnya. Kecelakaan yang semestinya tak perlu terjadi jika dirinya tetap bersikeras agar kakaknya memakai mobil. Sepatutnya dia tetap memaksa atau mengancam Endang.
Bukankah aku sudah memberikan kunci mobil itu? Kenapa tidak memaksa? Kenapa ... kenapa ... kenapa ...
"Itu salahku ... Ambar ... salahku sepenuhnya. Kau seharusnya tidak perlu ikut menanggung."
Lintang berusaha menahan tangis agar tak terdengar dengan menutup mulut menggunakan tangan tapi airmatanya makin deras sampai napasnya ikut sesak. Berkali-kali ia sampai pada suatu pemilikiran agar dia juga ikut mati saja menemani Endang agar kakaknya tidak kesepian di sana. Tapi dia takut untuk meninggalkan Ambar. Takut wanita itu makin merasa bersalah. Dia takut tak bisa membantu Ambar lagi kalau mati.
Lintang masih duduk bersandar di pintu ketika Harjo datang sambil membawa putranya, Arjuna. Kakaknya jongkok di depannya dan menepuk bahunya.
Lintang baru menyadari kehadirannya ketika tangan mungil Arjuna menyentuh wajahnya yang basah oleh airmata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nyonya Rumah. (Tamat)
Historical FictionSebuah kisah klasik drama keluarga. Ambar menikah dengan Harjo pada usia 17 tahun karena dijodohkan oleh kedua orang tua mereka. Wanita itu memberikan segalanya demi Harjo, cinta, tenaga, dan masa mudanya. Sepuluh tahun mengabdi pada keluarga Oetom...