Sekarang, 1999.
"Selamat ulang tahun, Arimbi."
"Ibuuuu."
Putri Ibu satu-satu memeluk Ibu kuat-kuat di kursi sampai keduanya kehabisan napas. Aku hanya tertawa melihat dua wanita yang paling dekat denganku itu. Mereka setiap hari saling teleponan, seminggu sekali ketemu di akhir minggu, kadang di tengah minggu, Arimbi mengajak ibuku keluar untuk makan siang. Orang yang tak mengenal keluarga kami pasti mengira Ibu dan putrinya ini sudah lama tak bertemu.
"Bu ... apa hadiahku?"
"Nggak malu apa nanya hadiah sama Ibu?" sindirku tajam.
"Paman Lintang ... apa hadiahku?" tanya Arimbi seakan tak mendengar sindiranku.
"Aku belikan rumah sebelah, mau?"
"Yeee!"
"Mau!"
"Ibu bilang pakai duit Ibu tapi kau tolak."
Arimbi terkekeh sambil memandang Ibu.
"Kalau pakai duit Ibu, tidak diijinkan Darius. Tapi ... Darius nggak bilang apa-apa tentang Paman Lintang," tukasnya sambil cengengesan.
Arimbi hanya mengoceh, aku yakin sekali kalau Darius juga tak mau menerima uang Paman Lintang jika diberikan. Orang idealis sepertinya. Huh! Pasti lebih memilih ngontrak daripada memakai dana yang bukan hasil keringatnya.
"Tapi uang Paman nggak banyak. Harus jual rumah dulu baru bisa beliin rumah buatmu," sahut Lintang tapi malah dicibir sinis oleh Arimbi.
"Paman pelit. Perhitungan gitu. Mana mungkin nggak punya duit. Paman punya perkebunan sawit. Itu kan alasan saja mau jual rumah supaya ...."
Arimbi melirik Ibu.
"Supaya bisa tinggal di sini," lanjutku. Ibu melotot ke arahku. Aku pura-pura tak melihatnya dengan berakting seolah sedang mencari remote televisi.
"Mau ke mana kau, Bima? Sampai pengen Paman tinggal di sini."
"Aku ..."
"Mungkin dia mau kawin. Secepatnya. Jadi Paman disuruh jagain Ibu."
"Hei!"
Arimbi ketawa jahat.
"Dia punya pacar? Kau punya pacar, Bim? Kenapa nggak kenalin ke Paman?"
Kuberi tatapan membunuh pada pamanku agar ia bisa segera mengunci mulutnya sebelum ibuku bereaksi. Belakangan ini Ibu lagi senang-senangnya mengangkat topik pacar padahal sudah kutegaskan kalau aku belum punya.
"Besok aku ke kampus," kata Paman. Aku menaikkan sebelah mataku. Kenapa rupanya kalau dia ke kampus? Toh, dia juga sering ke kampus karena setelah menyerahkan bisnisnya pada Heru, Paman mencurahkan waktunya untuk menjadi dosen.
"Pacarmu temen kuliah? Kenalin!"
"Aku malas bicara padamu," tukasku kesal sambil berdiri berniat untuk meninggalkan ruang keluarga.
"Hei, mau ke mana Anak Muda? Katanya tadi mau temeni Paman motret."
Kuabaikan teriakan Paman. Aku sedang kesal padanya.
"Bima!"
"Tukang marah!"
Kudengar Paman mengomel dari luar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nyonya Rumah. (Tamat)
Historical FictionSebuah kisah klasik drama keluarga. Ambar menikah dengan Harjo pada usia 17 tahun karena dijodohkan oleh kedua orang tua mereka. Wanita itu memberikan segalanya demi Harjo, cinta, tenaga, dan masa mudanya. Sepuluh tahun mengabdi pada keluarga Oetom...