September 1977.
"Kau mau bilang sama Ibuk apa maksudmu bilang ke Ratih kalo kerjaanmu adalah tukang kebun?" tanya Lastri pada Lintang sambil menahan amarah. Putranya itu malah menyeringai.
"Aku nggak bohong, Buk. Kerjaanku memang tukang kebun," jawabnya dengan nada jahil.
"Apa susahnya bilang kalau kamu adalah pemilik kebun karet?"
"Bukan milikku tapi milik Henry."
"Lintang! Ibu serius. Kalau sampai kau menggagalkan rencana perjodohan lagi maka lebih baik ..."
"Dengan senang hati, Buk."
"Apanya!"
"Dengan senang hati akan kugagalkan."
Lastri merasa kesal, ingin menjambak rambut anaknya yang satu ini. Namun apa daya, Lintang lebih tinggi dan ia perlu kursi dan sebelum naik kursi, anak itu pasti sudah kabur.
"Lintang, ada yang mau Bapak bicarakan."
Tjong Lai, baru saja masuk ke ruang keluarga dan bicara langsung pada Lintang. Lastri yang merasa dipotong pembicaraannya merasa kesal.
"Pak, kami lagi bicara tentang perjodohan Lintang. Bapak asal nyamber saja," omelnya sambil memasang wajah masam.
"Bapak cuma mau nanya sama Lintang, apa dia nggak mau terlibat sama bisnis keluarga kita. Bapak pengennya dia balik bantuin Bapak."
Tjong Lai duduk di samping Lastri lalu menghisap pipa cangklongnya.
"Pak ... berhenti merokok. Nggak baik itu bagi kesehatan," tukas Lintang. Tjong Lai tertawa.
"Bapak udah merokok dari dulu. Enak aja suruh berhenti. Kamu juga, lho. Bapak lihat kau sekarang juga merokok."
Lintang meringis sambil mengusap-usap tengkuknya.
"Nggak bisa bohong 'kan? Merokok di luar rumah. Sampai di rumah pura-pura jadi anak baik. Baumu itu bau tembakau. Anak bau kencur sok mau bohongi Bapak. Bapak jewer nanti kau," ucap Tjong Lai sambil pura-pura berniat menjewer telinga putranya. Lintang memundurkan wajahnya menghindari tangan bapaknya.
"Lihat, Bu. Anakmu pinter pura-pura. Dikirim jauh-jauh ke Inggris cuma untuk bohongi Bapak. Coba, gimana ini, Bu."
Lastri mengibaskan tangannya melihat sandiwara yang dimainkan Tjong Lai dan putra kesayangan suaminya.
"Dikirim ke Inggris bukannya bawa mantu kulit putih buat Ibu. Malah dibiarkan lepas. Berapa orang sih, di kota kecil ini yang bisa sekolah ke luar. Kamu yang sekolah di sana malah belum juga punya istri. Teman-teman kamu semua pasti sudah berkeluarga. Contohnya si Gunawan itu," omel Lastri mengungkit Beth.
Lintang malah memilih tetap cuek dengan makan kue buatan Ambar.
"Enak, Lin?" tanya Tjong Lai. Ia pun ikut mengambil satu kue pulut panggang dan makan bersama Lintang.
"Kalian berdua memang tak menghargai Ibu, ya. Diajak ngomong malah makan," omel Lastri sambil mengibaskan sapu tangan hasil sulaman tangan Ambar bergambar burung merak.
"Biar saja, Bu. Kok, Ibu sibuk ngurusin jodohnya Lintang. Ibu kurang kerjaan. Pemikirannya beda sama Ibu. Dia belum mau nikah. Kalo ketemu yang cocok, nggak usah Ibu paksa, nanti juga dia yang minta nikah sendiri. Ya, kan, Lin?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Nyonya Rumah. (Tamat)
Historical FictionSebuah kisah klasik drama keluarga. Ambar menikah dengan Harjo pada usia 17 tahun karena dijodohkan oleh kedua orang tua mereka. Wanita itu memberikan segalanya demi Harjo, cinta, tenaga, dan masa mudanya. Sepuluh tahun mengabdi pada keluarga Oetom...