Mulmed.
Sekarang, September 1999.
"Ini ... Oma?"
Terdengar suara Lika di teras. Kuduga anak itu dan saudaranya pasti sedang bersama dengan Ibu. Lika dan Abi suka sekali mendengar ibuku bercerita, baik itu dongeng ataupun kisah tentang pahlawan. Aku ingat sewaktu kecil, Ibu sering mendongeng untukku sebelum tidur. Saudara-saudaraku sering ikut mendengarkan, meskipun usia mereka terpaut jauh dariku.
Tiba-tiba aku merindukan saat itu lagi, kami berkumpul di kamar, mendengar cerita Ibu. Lalu kuputuskan untuk bergabung dengan kedua keponakanku di teras. Ibu tersenyum samar ketika melihat aku datang dan duduk di dekat kakinya bersama Abi, sedangkan Lika duduk di pangkuannya. Anak itu memang sangat dekat dengan Ibu.
"Oma cantik sekali, ya. Lika ingin cantik seperti Oma," ujar Lika dengan nada manja. Pandangan matanya tertuju pada album foto lama milik keluarga kami.
Kupicingkan mata, melirik Ibu. Beberapa hari terakhir semenjak Paman Lintang membawa tamu itu ke rumah kami, Ibu terus melihat-lihat foto lama kami. Apakah Beliau merindukan orang itu? Apakah Ibu menyesal tak menahannya lebih lama?
"Bu ..."
"Lika tau ini siapa?" tanya Ibu, tak menggubris panggilanku. Abi berdiri untuk berusaha melihat foto yang ditunjuk oleh Ibu.
"Oma ... ini Kak Abi. Tapi kok ... nggak ada Lika?" tanya Lika. Anak ini sedang protes. Di mana ada Abi, harus ada kehadirannya. Kalau tidak, maka dia akan ngambek. Bisa seharian.
"Ini bukan Kak Abi, Lika," jawabku sebelum gadis kecil kesayangan kami mulai menangis.
"Jadi siapa?"
"Itu Papamu, saudaraku," jawabku sambil mengusap poni anak itu. Dia memandangi Ibu dengan tatapan bingung. Aku bisa mengerti sih tentang alasan Lika bingung. Foto jadul saudaraku memang wajahnya mirip sekali dengan Abi.
"Paman benar, Lika. Ini Papa waktu seumuran dengan Abi. Nah, sekarang coba Lika lihat ini. Ini Tantemu Arimbi. Mirip kamu, nggak?"
Lika masih cemberut dan menjawab, "Bukan berarti Tante tidak cantik, tapi Lika nggak mirip Tante. Lika mirip Mama."
Ibu tertawa terbahak-bahak, aku juga ikut tertawa. Anak perempuan memang suka dibilang mirip ibunya daripada mirip saudara orang tuanya.
"Terus ... Paman Bima mana?" tanya Abi sambil membalik-balikkan album di atas pangkuan Lika. Ibu menatapku dan di saat yang sama aku juga memandanginya.
Album bercover putih dengan hiasan hati merah muda itu sama sekali tak ada fotoku. Isinya semua adalah kenangan Ibu dan kedua saudaraku sewaktu belum bercerai dari Bapak. Aku belum lahir. Aku lahir setelah kedua orang tuaku berpisah dan aku benci mengakui fakta itu.
Tahun 1967 di bulan September.
"Jelek sekali penampilanmu. Seperti pembantu! Mana ada wanita di zaman sekarang mengenakan pakaian kuno seperti dirimu. Kau itu istrinya, Harjo. Bukan pembantu. Kenapa niat bikin malu keluarga kita? Kau tau kan kalau mantu Ibu yang satu ini dari keluarga kaya? Mereka pengusaha gula. Masa penampilanmu begitu?"
"Maaf, Bu. Ambar ganti saja kalau begitu."
"Tidak perlu. Tamu-tamu sudah mulai datang. Masa harus aku yang berdiri melayani mereka."
"Baik, Bu. Saya ke depan dulu."
"Tunggu. Suruh Wati bawakan sirih sebelum kau menyambut tamu."
"Baik, Bu."
"Sekarang, pergilah."
Lintang mendengar suara Lastri mengomeli Ambar dari depan pintu kamar. Ia buru-buru menyingkir dari pintu agar Ambar tak curiga padanya sebab telah mencuri dengar. Namun sebelum ia sempat kabur, wanita itu sudah membuka pintu dan terkejut dengan keberadaan adik iparnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nyonya Rumah. (Tamat)
Ficción históricaSebuah kisah klasik drama keluarga. Ambar menikah dengan Harjo pada usia 17 tahun karena dijodohkan oleh kedua orang tua mereka. Wanita itu memberikan segalanya demi Harjo, cinta, tenaga, dan masa mudanya. Sepuluh tahun mengabdi pada keluarga Oetom...