Ada yang berbeda ketika Lintang kembali ke rumah malam itu, walaupun ia tak bisa mengatakan dengan jelas apa yang sedang terjadi. Para pembantu bertindak hati-hati seakan-akan mereka akan diberhentikan jika terjadi sedikit saja kesalahan.
Jam sembilan malam ia pergi ke dapur untuk mencari apa yang bisa dimakan, karena jam makan malam keluarga adalah jam 7.30 dan ia sudah melewatkannya. Lintang bertanya pada Bik Wati apakah masih ada makanan untuknya dan dijawab oleh perempuan tua itu kalau ia akan segera memanaskan nasi untuknya.
"Dua ya, Bik. Heru ikut makan bersamaku," pesan Lintang. Bik Wati mengangguk. Ditatapnya putra ketujuh dari keluarga Oetomo seolah ingin menyampaikan sesuatu tapi kemudian urung. Lalu ia permisi untuk menyiapkan makan malam.
"Aku akan makan di teras samping, ya Bik," pesan Lintang sebelum meninggalkan dapur. Ia pun pergi ke teras samping sambil membawa beberapa laporan pekerjaannya, berniat membereskannya sebelum makan.
Baru saja dihempaskan badannya ke kursi rotan, Heru datang dengan terburu-buru.
"Bos! Bos!"
"Duduk, Heru. Ngapain lari-lari di rumah?" tanya Lintang dengan nada menyindir.
"Anu ... Bos. Baru denger kasak-kusuk dari pembantu," jawab Heru sambil menghempaskan tubuhnya ke kursi. Lintang terlihat tak peduli. Dipakainya kacamatanya dan mulai membaca laporan halaman pertama. Penjualan karet menunjukkan angka yang menakjubkan. Jika dalam setengah tahun ke depan tetap begitu, ia akan mengajukan kredit pembelian tanah untuk perluasan perkebunan.
"Bos ... sudah tahu apa yang terjadi?"
Lintang mendehem dengan kuat. "Sejak kapan kau peduli dengan kasak-kasuk, Her?"
Matanya tak beralih dari buku laporan. Heru menggerakkan kedua tangannya. "Nggak. Aku tetap tak peduli. Tapi ini bikin syok, Bos. Masalahnya ..."
"Heru ..." Lintang mengangkat kepalanya, menatap orang kepercayaannya itu. Heru menelan ludah karena bosnya merasa terganggu dengan laporannya tentang para pembantu.
"Bos, maaf menyela tapi ini penting! Dengar dulu, Bos!"
"Ya, aku dengar."
"Nyonya pergi dari rumah."
Mendengar ucapan Heru, Lintang bagai tersambar petir, padahal tak ada hujan.
"Nyonya siapa? Ibuk?"
Heru menggeleng kuat-kuat. "Nyonya Besar nggak ke mana-mana. Ini kan rumahnya. Maksudku ... para pembantu kasak-kusuk bilang kakak iparnya Bos pergi dari rumah bawa anak-anak."
Lintang mulai tak sabaran. Ditutupnya laporannya dengan kasar. "Bicara yang benar!"
"Nyonya Ambar pergi dari rumah bawa Arjuna dan Arimbi. Anu ... mereka bilang Nyonya Besar melemparkan barang-barang Kak Ambar ke jalanan subuh tadi.
"Ibuk?" Perasaan Lintang mulai tak enak. Pantas saja ia merasakan suasana yang berbeda sejak sampai di rumah tadi.
Heru mengangguk berkali-kali.
"Kenapa Ambar pergi dan Ibuk membuang barang-barangnya?"
"Tidak tau, Bos tapi yang kudengar ini ada hubungannya dengan Harjo."
Lintang mengatup rahangnya dengan kesal karena penjelasan Heru yang tak jelas. Lastri mengusir Ambar pasti berhubungan dengan Harjo. Kalau tak ingat Heru sudah banyak membantunya, pasti sudah ia jewer telinga anak itu.
"Di mana Harjo?" tanya Lintang dengan perasaan yang tak enak membayangkan kelakuan ibunya yang dengan seenaknya melemparkan Ambar dan cucu-cucu keluarga Oetomo ke jalanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nyonya Rumah. (Tamat)
Ficción históricaSebuah kisah klasik drama keluarga. Ambar menikah dengan Harjo pada usia 17 tahun karena dijodohkan oleh kedua orang tua mereka. Wanita itu memberikan segalanya demi Harjo, cinta, tenaga, dan masa mudanya. Sepuluh tahun mengabdi pada keluarga Oetom...