Babak I : 8. Dusta dalam Buku.

2.5K 271 35
                                    

Mulmednya sesuai permintaan.

1999.

"Di mana istrimu, Jo?" tanya Lintang sambil celingak-celinguk mencari Wiwik, istri Harjo. Mereka baru saja kembali dari rumah Ambar. Semula ia tak pernah setuju untuk mengantar saudaranya ke rumah Ambar. Namun bulan lalu Harjo masuk rumah sakit, kena serangan jantung untuk ke sekian kalinya. Ia memohon pada adiknya untuk mempertemukannya dengan mantan istri dan anak-anaknya. Lintang iba padanya, terutama setelah tahu kalau istri kakaknya tak mau mengurus suaminya yang sudah terkena stroke itu. Anak lelaki Harjo setali tiga uang dengan Koesman, yang gemar menghambur-hamburkan uang. Sedangkan anak perempuannya masih sekolah.

"Jangan tanya aku, Lintang. Mana bisa aku mengikat kaki perempuan itu."

Lintang menyeringai mendapatkan jawaban sinis dari Harjo.

"Sayangnya dulu kau tak pernah bilang gitu, Jo," sindirnya diiringi senyuman manis.

"Mengapa kau tak pernah memanggilku dengan panggilan hormat?"

Lintang tertawa.

"Setua ini baru tanya? Memang kau layak dihormati?"

"Nggak takut kualat, kau Lin? Bagaimana pun aku sepuluh tahun lebih tua darimu."

"Jo ... yang kualat itu kau," balas Lintang dengan nada menantang sampai Harjo mendecak kesal.

"Melihat kehidupanmu sekarang, aku agak penasaran, Jo."

Harjo mendongak memandangi Lintang yang berdiri tegak di hadapannya. Adik laki-lakinya ini tak pernah ragu jika dirinya merasa penasaran. Tak pernah menahan diri bila ada hal yang mengganggunya.

Lintang mendekap kedua tangannya di depan dada dan memandang lurus ke belakang kursi roda Harjo, di mana terdapat foto keluarga saudaranya.

"Pernahkah kau menyesalinya? Istri dan anak-anakmu yang kau tinggalkan untuk istrimu yang sekarang?"

Harjo berkedip sekali. Lintang tersenyum. Jawabannya sudah terpampang tanpa perlu dijawab.

"Kau sendiri ... pernah menyesal sampai sekarang tak menikah karena menunggu orang yang tak mencintaimu?"

Lintang terbahak sambil memegangi perutnya yang kram akibat tertawa terlalu kuat.

"Tidak!" jawabnya pasti.

"Banyak perempuan yang menyukaimu tapi masih menunggu mantan istriku untuk membalas cintamu."

"Perasaanku padanya adalah urusanku, sedangkan perasaannya padaku, tak menghambat perasaanku padanya. Pengecut seperti kau ... tak akan pernah mengerti."

"Kau yang pengecut. Buang masa mudamu dengan sia-sia dengan perempuan yang tak pernah membalas cintamu. Dia single, Lintang. Dia butuh pendamping setelah kami cerai, kau bisa memilikinya. Jangan-jangan sampai sekarang dia belum tahu kau mencintainya."

Lintang menggeleng-gelengkan kepalanya, heran dengan sikap Harjo. Bertahun-tahun membina rumah tangga dengan Ambar, ternyata ia tetap tak mengerti sifap mantan istrinya.

"Ambar miliknya sendiri, Jo. Dia hidup bukan untuk cari pendamping. Ambar hidup untuk anak-anaknya."

"Sok tau. Kau bukan suaminya. Juga bukan kekasihnya."

Lintang tertawa.

"Tidak menjadi suami atau kekasih bukan berarti kami tak saling mengenal satu sama lain," balasnya santai.

"Aku tetap merasa kau orang paling bodoh, Dik. Menyia-nyiakan masa mudamu untuk Ambar. Sekarang kau bahkan nggak punya keluarga sendiri."

"Hm ... aku punya tiga anak, Jo. Anak-anak yang kau telantarkan. Mereka menganggapku seperti bapak sejak Ibuk mengusir mereka dari rumah kita."

Nyonya Rumah. (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang