"Bagaimana?" tanya Lintang ketika Ambar kembali ke pabrik sehabis dari rumah Aditya. Pria itu sengaja tak pergi ke bengkel tapi menunggu sambil menggantikan kakak iparnya mengawasi pabrik dan dua keponakannya.
Ambar menggeleng lemah. "Kata pembantunya, Nonik nggak enak badan dan tak bisa menemuiku," jawabnya.
"Argh! Mereka bohong! Biar aku ke sana!"
"Lintang, tenang dulu. Kenapa kau emosi terus? Kita cari jalan lain. Atau memang Nonik memang lagi kurang enak badan."
Lintang mengepalkan tangannya yang terasa ingin meninju sesuatu.
"Aku sempat mengirimkan pesan kepada Nonik melalui pembantunya."
"Kau apa?"
"Aku menitipkan pesan pada pembantunya sebelum mereka mengusirku. Tentu saja ... aku menyuap pembantu itu. Aku harap ... apa Lintang? Kenapa kau menatapku begitu? Apa aku salah?"
Lintang tak berkata apa-apa, tapi tersenyum kagum. Dia mengeluarkan tangannya dari dalam saku dan mengangkat jempol untuk Ambar.
"Maksudmu ... bagus? Caraku bagus?"
"Yess! Absolutely yes!"
Ambar meringis karena dirinya mengira Lintang meragukan tindakannya.
"Aku nggak tau dia akan menyampaikan pesannya atau nggak, cuma aku harus usaha."
"Tindakanmu sudah benar, Ambar. Mari kita berharap dia menyampaikannya kepada Nonik. Tapi apa yang kau pesankan kepadanya?" tanya Lintang sambil menuangkan teh ke dalam cangkirnya. Ambar mendesah pelan.
"Waktuku terbatas. Aku hanya bilang minta Nonik telepon Harjo. Aku harus kembali ke rumah itu beberapa hari lagi. Walaupun tak bertemu, paling tidak Nonik tahu kalau kita peduli padanya," tukas Ambar. Lintang mengangguk.
"Ya, pergilah. Mungkin waktu itu, Nonik sudah sembuh dan mau menemuimu. Jangan tanya dia, apa Adit memukulnya. Selidiki saja, kau pintar Ambar. Kau pasti tau bagaimana mengorek keterangan darinya."
Ambar dengan tak tenang menunggu sampai hari itu. Hari ketiga di mana ia pergi menemui Nonik lagi. Kali ini yang menyambut adalah Aditya, suami Nonik.
"Menantu keluarga Oetomo yang cakap, ada apa terus mengunjungi adik iparnya?" sindir pria bermata tajam itu. Ambar benci tatapan yang melecehkan yang terpancar dari mata Adit, tapi ia harus bertahan demi bertemu Nonik.
"Harjo suamiku, ingin tahu keadaan adiknya. Kurasa itu tugas kami sebagai kakaknya," jawab Ambar kalem. Aditya sedang berdiri. Didekatkan wajahnya pada Ambar untuk mencium bau harum dari rambut wanita itu.
Ambar semakin jijik dengan suaminya Nonik ini. Dia tak heran dengan kelakuannya yang tak sopan, Adit bisa membawa perempuan lain ke dalam rumahnya meskipun masih memiliki istri sah.
"Harjo pasti bahagia sekali memperistri dirimu," bisiknya dengan nada mesum.
Pada kesempatan normal, Ambar sudah pasti akan menampar wajah menjijikkan pria itu. Namun sekarang, keinginannya harus ditelan. Dia harus menemui Nonik. Kalau tidak, sia-sia usahanya selama ini.
"Ijinkan aku menemui istrimu," pinta Ambar dengan nada datar.
"Ah! Gampang ... tapi kau tau kan ... apa yang aku inginkan?"
Pergi, Ambar!
Ambar memejamkan matanya. Seakan ia baru saja mendengar ada orang lain yang menyuruhnya untuk segera angkat kaki dari rumah itu.
"Aku menyukai rambut panjangmu yang lebat ..."
Adit mengangkat tangannya berniat menyentuh rambut Ambar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nyonya Rumah. (Tamat)
Historical FictionSebuah kisah klasik drama keluarga. Ambar menikah dengan Harjo pada usia 17 tahun karena dijodohkan oleh kedua orang tua mereka. Wanita itu memberikan segalanya demi Harjo, cinta, tenaga, dan masa mudanya. Sepuluh tahun mengabdi pada keluarga Oetom...