"Dapat berapa, Bu?" tanya Arjuna ketika melihat Ambar selesai menghitung uang hasil penjualan kue.
"Cukup untuk beli bahan kue dan makan kita sampai besok. Terima kasih karena sudah bantu Ibu jualan," tukas Ambar sambil mengelus kepala putranya yang berusia 9 tahun.
"Tapi, Bu ... kita harus bawa Arimbi ke dokter. Panas badannya nggak turun-turun sejak dari tadi Arjuna pergi jual kue," tukas anak itu sambil melirik adiknya yang sedang tertidur di dipan bambu. Arimbi menggigil kedinginan. Ambar menyelimutinya dengan kain panjangnya karena mereka tak punya selimut. Bahkan Ambar tak punya uang sepeser pun ketika keluar membawa kedua anaknya meninggalkan rumah. Hanya membawa beberapa baju dan tak punya tujuan.
"Bu ... kita ke rumah Kakek saja yuk, Bu. Minta duit sama Nenek biar Arimbi bisa ke dokter."
Ambar bukan tak mau pergi ke rumah orang tuanya tapi ia malu. Dhika adik lelaki satu-satunya sudah dapat kerja di Jakarta, orangtuanya akan pindah ikut dia. Ambar tak mau menjadi beban pikiran mereka. Biarlah mereka pindah tanpa tahu kemelut rumah tangganya.
Anak perempuan yang sudah menikah tak berhak kembali ke rumah orang tuanya.
Ucapan dari mertuanya yang ditujukan pada Nonik terngiang-ngiang di telinganya terus setelah ia meninggalkan rumah itu. Ambar harus mengakui kebodohannya kalau selama ini ia tak memiliki simpanan uang di bank seperti yang selalu disarankan Lintang. Uang yang berasal dari gaji selama bekerja di pabrik konveksi sebagai mandor selalu dibelikan emas. Kadang diberikan kepada orang tuanya saat mereka butuh dan sisanya disimpan untuk dana anak-anaknya kelak. Sayangnya ketika meninggalkan rumah, barang itu tertinggal di lacinya Harjo.
"Bu, kita cari Paman Lintang, yuk. Paman kan biasanya baik pada kita," usul Arjuna.
Tetapi bagaimana baiknya dia tetap saja anak dari keluarga Oetomo.
Ambar tak ingin lagi berhubungan dengan keluarga itu, apalagi menggunakan uang mereka. Cukup penghinaan ibu mertuanya ketika mengetahui apa sebenarnya alasan Ambar marah kepada Harjo.
"Sehari lagi, Nak. Kalau uangnya terkumpul besok, kita bawa Arimbi ke dokter," janji Ambar tanpa membalas keinginan Arjuna untuk meminta bantuan pada Lintang.
"Arjuna hanya takut kalau keadaan Adik nggak membaik, Bu."
Ambar memejamkan matanya dan menelan ludah.
Ibu juga, Nak. Ibu takut. Tapi Ibu nggak bisa minta bantuan siapa pun.
"Kita buat kue lebih banyak ya, biar besok dapat duit lebih banyak."
Arjuna memandangi Arimbi yang tertidur dengan tidak nyaman di atas dipan. Mata adiknya terpejam tapi resah dan terus menendang kakinya. Ditariknya kain panjang milik ibunya itu agar bisa menutupi kaki Arimbi yang kedinginan.
Ambar terpaksa harus pura-pura membuang wajahnya ke arah lain agar Arjuna tak melihat airmatanya. Dia tak ingin anaknya sedih. Cukup bagi anak itu karena harus menjadi saksi betapa sadisnya Lastri.
Nyonya Rumah.
"Ada apa pagi-pagi begini ribut-ribut, Ambar? Kau tahu bahwa Ibu nggak bisa bangun pagi."
Ambar menekuk kedua lututnya di hadapan mertuanya sambil berlinangan airmata.
"Ambar pamit, Bu," katanya dengan tegar, meskipun airmata bercucuran. Lastri mendelik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nyonya Rumah. (Tamat)
Tiểu thuyết Lịch sửSebuah kisah klasik drama keluarga. Ambar menikah dengan Harjo pada usia 17 tahun karena dijodohkan oleh kedua orang tua mereka. Wanita itu memberikan segalanya demi Harjo, cinta, tenaga, dan masa mudanya. Sepuluh tahun mengabdi pada keluarga Oetom...