*klik multimedianya sambil membaca.
Tak ada yang menyangkal putri sulung Pak Roesdi adalah anak yang cerdas, bahkan beberapa kenalan bapak guru itu menyayangkan kalau Ambar terlahir sebagai wanita bukannya sebagai pria. Dia mewarisi otak bapaknya. Konon, Pak Roesdi sendiri bisa berbahasa Mandarin sebelum terjadi pergolakan politik di tahun 1965 sampai 1966 yang mengakibatkan tulisan Mandarin dilarang penggunaannya.
Ambar bisa bahasa Mandarin, dia banyak membaca dari buku-buku milik bapak yang sekarang harus dibakar agar tidak dicurigai oleh penguasa. Suaminya tahu akan hobinya membaca buku, ia sering memanjakan istrinya dengan buku-buku baru bila ia berkesempatan menemani ayahnya ke kota sebelah. Kota tempat tinggal mereka adalah kota kecil, tidak ada toko buku yang buka di sana. Kadang-kadang Harjo mengajak istrinya ikut serta karena menurut pengakuan Ambar di hari pertama mereka menikah, ia belum pernah naik mobil. Pria dengan rahang kokoh itu tak habis pikir bagaimana hidup seorang manusia modern bila tak pernah naik mobil. Namun meski istrinya kampungan, Harjo tetap mengaguminya. Ambar rajin, bahkan ayah mertuanya mempercayakan usaha konveksi ke tangannya. Tugas Ambar hanya mengawasi para pekerja.
"Aku tak bisa menjahit, Pak," aku Ambar.
Goh Tjong Lai yang sedang duduk di kursi kerjanya sambil merokok tetap sibuk melihat angka-angka di buku catatannya. Tanpa melirik Ambar, ia berkata, "Tidak perlu orang yang mahir menjahit untuk punya usaha konveksi, Anakku. Bapak juga tak bisa menjahit."
Harjo berdiri di samping Ambar dan menyikut lengannya.
"Bilang terima kasih pada Bapak," bisiknya. Ambar adalah wanita yang penurut jadi ia mengucapkan terima kasih dengan suara pelan.
"Jangan sampai karena diberi kepercayaan oleh Bapak, kau melupakan tugasmu mengurus suami dan keluarga," sahut ibu mertua Ambar. Lastri tiba-tiba saja masuk ke ruang kerja itu.
"Mana mungkin, Ambar lupa tugasnya, Bu. Ambar istri yang berbakti dan rajin. Keluarga kita beruntung bermantukan Ambar," balas Harjo dengan nada bangga. Lastri kelihatan mencibir sekilas.
"Bagus! Sekarang, sudah jam berapa? Masih belum ada yang menyiapkan makan malam. Sebentar lagi adek-adekmu mau makan. Mereka mau makan apa?"
Belum sempat Harjo menjawab, Ambar yang nurut langsung menjawab, "Baik, Bu. Ambar ke dapur dulu. Siapin makan malam."
Ambar pun pergi keluar sebelum Lastri mengiyakan.
"Ibu ... mengapa menyusahkan Ambar padahal kita punya pembantu?"
Suara Harjo terdengar sampai ke luar ruangan.
"Apa Bapak serius menyerahkan usaha konveksi pada Ambar?" tanya Lastri tanpa menjawab sindiran putra sulungnya. Goh Tjong Lai menjawab dengan suara gumaman. Tetap saja sibuk menghitung pemasukannya.
"Kalau konveksi diambil alih oleh Ambar, Koesman bagaimana, Pak?"
"Anak itu tak bisa diharap. Hanya ingin main cewek saja. Usaha penjahit bisa gulung tikar kalau dia terus-terusan memacari para janda kembang di kota ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nyonya Rumah. (Tamat)
Historical FictionSebuah kisah klasik drama keluarga. Ambar menikah dengan Harjo pada usia 17 tahun karena dijodohkan oleh kedua orang tua mereka. Wanita itu memberikan segalanya demi Harjo, cinta, tenaga, dan masa mudanya. Sepuluh tahun mengabdi pada keluarga Oetom...