Februari 1980.
"Bos ... kau ada di dalam? Kau baik-baik saja, Bos?"
Terdengar suara Heru ada di depan kamar Lintang. Tersirat ada kekuatiran pada nada suaranya sebab Lintang sudah mengunci diri di kamar selama tiga hari setelah kejadian Lastri mengejar Tjong Lai dengan benda tajam. Selama itu juga lelaki itu tidak menyemtuh makanan yang disediakan Heru di depan kamarnya.
"Bos kalau kau diam saja, Kak Ambar bilang aku boleh mendobrak pintunya. Kak Ambar tadi datang dan membawakan makanan kesukaanmu. Tapi karena Bos nggak mau makan, jadi makanannya kuberikan pada kucing."
Masih tak ada suara atau pergerakan dari dalam.
"Bos, aku mau pamit. Kurasa Bos juga nggak sudi lihat mukaku lagi karena kejadian di keluarga Bos. Hari-hari terakhir ini mau bilang sama Bos. Aku nggak tau soal Tuan adalah bapak kandungku dan aku tetap tak percaya."
Heru mengepalkan tangannya. Dia tak mendustai Lintang tapi juga tak yakin Bos akan percaya padanya. Dirinya juga terguncang mengetahui fakta kalau Tjong Lai adalah bapak kandungnya, yang artinya Lintang adalah saudaranya.
"Bagiku kau tetap bosku, penolongku. Aku akan tetap menghormatimu."
Heru menarik nafas panjang. Andai bisa memilih, dia lebih baik tetap tidak tahu siapa bapaknya. Sekarang setelah Tjong Lai mengakui hubungannya malah membuat hubungan Heru dan Lintang merenggang.
"Bos marah sama aku karena kita masih sedarah. Aku paham. Oleh karena itu, hari ini aku mau pamit."
Heru menelan ludah sebelum melanjutkan ucapannya. Dia merasa sedih harus berhenti mengikuti Lintang padahal tidak melakukan kesalahan apa-apa.
"Aku nggak bisa ikut Bos lagi. Jaga diri Bos. Jangan lupa makan dan tidur yang cukup. Ingat jam kalau lagi kerja. Kalau sempat cari pendamping hidup. Bos masih muda. Jangan terlalu serius bekerja sampai lupa pacaran."
Heru sengaja mengatakan kalimat panjang yang diulang-ulang supaya ia bisa berlama-lama di depan kamar Lintang dan menaruh setitik harapan kalau pria yang diikutinya selama beberapa tahun terakhir ini mau berbaik hati menunjukkan wajahnya. Namun setelah beberapa detik, bosnya tak kunjung muncul, lelaki muda itu pun memutuskan untuk pergi.
"Besok malam menjelang Imlek, Bos harus pulang ke rumah. Jangan makan malam sendiri."
"Jaga diri, Kak."
Nyonya Rumah.
"Ibu duduk saja, biar Arjuna yang bawain supnya. Nanti Ibu capek."
"Tak apa-apa, Arjun. Ibu masih bisa."
"Ibu pasti capek abis bikin berapa resep kue untuk sincia (Imlek)."
Terdengar pintu diketuk dari luar. Arjuna memandangi Ambar, mereka merasa tak punya tamu. Keduanya saling bertukar pandang dan tak bisa menebak siapa yang datang pada malam menjelang Imlek di saat semuanya berkumpul bersama keluarga.
"Biar Rimbi yang buka," kata Si Kecil Arimbi yang tak lama lagi akan menjadi kakak. Gadis kecil itu senang karena tak biasanya mereka dikunjungi tamu.
"Mungkin saja itu Bapak," tukasnya riang sambil membuka penghalang pintu. Ambar tak memungkiri kalau hatinya cemas seandainya benar kalau yang datang adalah Harjo, bukan berarti dia berharap. Tetapi anak-anak memang merindukan sosok bapaknya.
"Paman Lintang!" teriak Arimbi riang.
"Hai Nona Manis!" sapa Lintang sambil menyambut gadis kecil itu dengan membuka kedua tangannya agar bisa memeluknya. Arimbi tampak senang sekali dengan kunjungan dari pamannya, sementara Arjuna melongok ke luar untuk melihat apa ada orang lain yang datang bersama lelaki itu. Kemudian anak lelaki itu tak mampu menutupi rasa kecewa di wajahnya karena sosok bapaknya tidak ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nyonya Rumah. (Tamat)
Historical FictionSebuah kisah klasik drama keluarga. Ambar menikah dengan Harjo pada usia 17 tahun karena dijodohkan oleh kedua orang tua mereka. Wanita itu memberikan segalanya demi Harjo, cinta, tenaga, dan masa mudanya. Sepuluh tahun mengabdi pada keluarga Oetom...