GALENDRA |09

663 37 1
                                    

Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berhanti hari, hari berganti minggu, minggu berganti bulan orang yang gadis ini tunggu tak barang sedikitpun nampak.

Di sebuah rumah bergaya modern berlantai dua dengan taman hijau nan sejuk kala dipandang, seorang gadis bertubuh mungil yang menempatinya.

Diatas ayunan berwarna putih dengan rumput yang terpotong rapi dibawahnya gadis itu termenung disana. Memandang langit malam yang nampak gelap hanya satu bintang yang bersinar disana.

Sweater bulu berwarna biru muda dan hotpants putih membalut tubuh mungil itu, rambut yang dicepol menyisakan anak rambut yang menjuntai di pipinya menambah kesan imut bagi sang gadis. Jari-jari kaki mungilnya digerakan diatas rumput dan mata sipit itu memandangnya.

"Ayah, Ayah dimana?" Gumam sang gadis yang hanya dijawab oleh hembusan angin malam.

"Ayah sehat kan?" Tidak terasa air mata lolos dari mata sang gadis.

"Ayah jangan telat makan ya." Pesan sang gadis. Berharap pesan ini dibawa oleh angin kepada sang Ayah.

Gadis itu memandang satu bintang yang terkelip di langit malam itu, "Bunda..."

"Calla pengen cerita, Bun." Bulir bening itu semakin lama semakin keluar banyak dari mata sipit itu.

"Calla.. Calla pengen peluk, Bunda." Gadis itu tambah sesenggukan.

"Calla pengen ketemu, Bunda."

"Calla kangen Bunda." Sang gadis tertunduk sejenak lalu mengusap air matanya.

Terdiam cukup lama, hanya suara jangkrik dan hembusan angin yang menerpa kulitnya. Kaki mungil sang gadis bergerak-gerak nampak menggemaskan.

"Kenapa nangis?" Suara berat dari arah kanan membuat sang gadis terjengit.

"Kak Galen?" Gadis itu menatap entitas tinggi yang berjalan kearahnya

"Kenapa nangis?" Ulangnya dengan posisi sudah berdiri menjulang tepat di depan sang gadis.

"Siapa yang nangis? Calla gak nangis." Pandang Calla mengikuti gerakan tubuh Galen mulai berdiri hingga Galen berjongkok di depannya tanpa mengalihkan pandangan agar Galen tidak curiga.

"Gue bukan anak kecil, Callandra." Galen melarikan jempolnya ke sudut mata Calla. Mengusap air mata yang tersisa, "Apa?" Galen menunjukan jempolnya pada Calla.

"Itu tadi kelilipan." Jawab Calla tenang tak gentar membohongi Galen walau Ia tahu Galen bukan orang yang gampang dibohongi.

Galen menghela nafas, menjatuhkan dirinya hingga terduduk tepat di depan kaki Calla. Galen menjatuhkan wajahnya di paha Calla.

Calla sempat terkejut, "Kak Galen kenapa?" Dengan ragu Calla mengangakat tangannya. Menyisirkan jemari mungil itu pada sekumpulan rumput hitam disana.

Galen menggeleng, lalu menyembunyikan wajahnya pada lipatan kedua paha Calla. Calla mati-matian menahan senyum melihat Galen mode seperti ini. Jangan-jangan Galen kerasukan, kenapa tiba-tiba orang yang digadang-gadang sebagai iblis jadi begini?

"Ada apa hem? Sini cerita sama, Bunda." Calla terkikik setelah mengucap hal demikian.

Pun Galen, pemuda itu menumpukan dagunya di paha Calla dan tertawa mendengar ucapan gadis mungil di depannya.

"Mana ada Bunda mini gini." Ujar Galen tenang sambil berdiri dan menepuk-nepuk celananya setelah duduk di bawah.

"Sembarangan mini-mini." Calla mengerucut sebal.

"Gue laper. Masakin!" Galen berlalu meninggalkan Calla untuk masuk ke dalam rumah Calla.

"Eh?" Calla cengo, "Kak Galen gimana bisa masuk?" Calla mengejar Galen dengan kaki telanjangnya.

GALENDRA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang