GALENDRA |20

447 23 0
                                    

Ditemani angin malam dan sunyi, kaki mungil itu menapak. Menyusuri jalan yang akan membawanya entah kemana. Melaju tanpa tujuan. Memandang tanpa arah. Berjalan tanpa gairah. Raga itu seolah kosong tanpa nyawa, netra legam itu memandang hampa.

Tepat jam 00.00 namun sama sekali tak ada niatan bagi insan pemilik netra legam itu untuk pulang. Tubuh nya terbalut kemeja abu-abu oversize, kaki nya yang tak terlalu panjang itu terbungkus celana berwarna hitam dan sneakers berwarna putih. Rambut panjangnya tergerai indah dengan topi hitam menutup kepalanya. Warna yang sama dengan kehidupannya.

Panggilan telfon yang Ia terima selepas kerja tadi membuatnya seperti demikian. Kosong.

. . .

Drrtt . . Drrtt . .

Merasa ada getaran dari dalam tas punggung yang di bawanya, gadis itu melihat benda pipih miliknya menyala menampilkan nama yang membuat otaknya berfikir keras.

Berjalan menjauh dari kerumunan, gadis itu berada di halaman belakang sebuah hotel tempatnya mengais pundi uang hari ini.

"H-Halo?" Diam tak ada jawaban dari seberang.

"Ayah?" Panggilnya masih belum ada sahutan.

"Callandra." Hingga suara tegas itu tertangkap telinganya. Dua insan yang tengah melakukan panggilan itu ada Callandra dan Ayahnya -Falro- atau bisa di sebut paman nya (?)

"I-iya, Ayah?" Kristal bening itu luruh tanpa diminta namun bibirnya membentuh kurva indah tuk di pandang. Dirinya tak menampik, Ia sangat sangat sangat merindukan lelaki yang Ia panggil Ayah itu.

"Aku bukan, Ayahmu!" Callandra tersenyum. Katakan Ia gila, di beri peringatan justru tersenyum senang.

"Aku merindukanmu, Ayah." Tak mengindahkan peringatan dari seberang, gadis itu tetap saja memanggil seperti biasa Ia memanggil.

"Kemasi barang Mu!" Ujar Falro singkat.

Senyum Callandra kian melebar perasaan senang di dadanya membuncah, "Ayah akan membawa Calla tinggal bersama Ayah? Menemui Kakek? Hidup bahagia lagi bersama-"

"Aku akan menjual rumah itu." Tandasnya memberhentikan ocehan Callandra. Senyum itu perlahan menghilang.

"M-maksud Ayah-"

"Apa ada kapas di telinga Mu? Aku ingin menjual rumah itu!" Tandasnya dengan suara bass.

"Lalu Calla harus tinggal dimana, Ayah?" Senyum itu menghilang. Air mata itu berhenti menetes. Tinggal suara yang terdengar menuntut mendominasi.

"Aku tidak perduli." Ujarnya tenang seolah Ia tak melakukan apapun.

"Calla akan membelinya. Jangan menjual ke orang lain." Callandra, gadis itu berujar tegas.

Terdengar tawa mengejek dari seberang, "Apa kau akan menjual diri mu dengan tarif lebih tinggi hm? Atau kau sudah memiliki banyak uang hasil kau menjual harga dirimu?"

Callandra diam. Bila ditanya apa Ia sakit hati? Jawabannya tentu saja. Pertarungan antar jiwa seolah kembali terjadi di tubuhnya. Amarah, kesedihan, ketenangan, ketiga perasaan itu memenuhi otak dan hati Callandra. Tak tahu mana yang akan menang dari pertarungan imaginer itu.

"Berapa harga rumah itu?" Rumah yang sudah Ia tempati selama lima belas tahun Ia hidup akan Ia beli.

Haha . . membeli rumahnya sendiri. Sungguh ironi hidupnya.

"140.000 USD." Falro menjawab ringan sementara Callandra membelak mendangar penuturan harga rumahnya yang di tentukan Falro.

140 ribu USD yang setara dengan 2 milyar rupiah.

GALENDRA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang