GALENDRA |22

415 18 0
                                    

Suasana sabtu malam yang cukup tenang, bulan yang hanya bersinar sepersekian persen tak mengurangi indahnya langit malam yang bertabur bintang.

Callandra dengan kain berwarna putih yang terbentang menutupi kepala hingga tubuhnya. Menengadahkan tangan sambil tertunduk dengan mata terpejam, menikmati alunan do'a yang terlontar untuk Sang Maha Kuasa.

"Aamiin." Ujarnya dengan suara lembut tanda do'a sudah selesai.

Pada sepertiga malam pertama, tepatnya pukul 19.00 hingga 20.00 waktu setempat Callandra terdiam di bangunan megah yang sering di sebut rumah-Nya. Ingin menenangkan diri, bercerita pada pencipta perihal satu-persatu masalah yang sedang menimpanya.

Sang ayah kembali meneror, setelah kejadian transaksi akan pembelian rumahnya sendiri dua minggu lepas.

"Dari mana Aku bisa tebus kalau Aku gak kerja." Helaan nafas terdengar sangat lelah, waktu kurang dua minggu lagi sementara dua minggu ini Ia tak barang sedikitpun boleh keluar dari rumah megah Bharaspati kecuali saat sekolah.

Jemari lentiknya melipat kain itu, menyimpannya rapi pada almari besar yang pula menyimpan benda yang sama.

"Sudah selesai?" Sambut suara berat saat Callandra menginjakan kaki pada anak tangga terakhir dan akan mengenakan alas kakinya.

"Loh Om Baron dari kapan selesai dari gereja? Kok gak telfon Calla atau gimana gitu. Maafin Calla Om, Calla kira acaranya lama." Callandra berucap penuh sesal sesekali badannya membungkuk guna meminta maaf.

"Belum lama, Callandra. Berhentilah berbungkuk."

Callandra tersenyum setelahnya, mata bulat legamnya menyorot satu keluarga yang baru saja keluar dari gereja.

Dari sini, dari ujung tangga rumah-Nya Callandra melihat orang terkasih keluar pula dari rumah-Nya. Sama-sama tempat ibadah. Namun berbeda dengan tempat ibadah Callandra. Terlihat sangat bahagia. Om Niel dengan Tante Dira dan Galen dengan . . . Clara.

Di depan rumah-Nya Aku melihatmu keluar dari pintu Katedral. Setelah semua ini pantaskah Aku mencintainya, Ya Allah?

"Dari sekian banyak perbedaan kenapa Kita harus beda keyakinan, Kak?" Ujarnya lirih namun dapat di tangkap oleh Baron.

Sorot mata sendu itu memancarkan kesakitan yang ditahan. Tak ada yang bisa merasakaan selain Callandra itu sendiri. Baron tertunduk sejenak, tak tega menganggu arah pandang Callandra.

"Ingin langsung pulang Callandra?" Ujar Baron menarik kembali Callandra pada dunia nyata.

Callandra tersenyum tipis, "Callandra ingin pergi ke suatu tempat, Om Baron mau antar?" Pintanya dengan suara yang kembali riang.

Baron mengangguk, melajulah mobil itu ke tempat yang di minta Callandra.

. . .

"Om disini apa ikut masuk Callandra?"

Setibanya pada tempat yang diminta Callandra. Sebuah cafe resto yang cukup ramai meski malam hari.

"Om tunggu di sini." Ujar Baron.

"Om mau americano?" Tawarnya di angguki Baron.

Callandra pamit lalu melarikan kaki munggilnya pada resto di seberang.

"El!" Panggilnya pada orang yang ada di meja kasir.

"Callandra?" Sahut sang pemilik nama dengan senyuman.

"Bagaimana Kamu bisa ada di sini? Siapa yang jadi peracik di Night Cafe'?" Tanyanya pada El.

"Tempat itu tutup sejak dua hari lalu. Entahlah." El menghendikan bahunya. Callandra menutup mulutnya, ada apa?

GALENDRA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang