Hari senin adalah hari yang paling dihindari oleh setiap murid pagi mereka yang ceria musnah karena harus di suguhkan dengan sengatan sinar matahari ditambah siraman rohani dari Kepala Sekolah.
Galen, Gardha, Bartam, dan Danzel sudah merencanakan datang lebih siang. Pukul delapan lebih tiga puluh keempat pemuda itu baru saja menginjakan kakinya di depan gerbang besar dengan logo SMA Dhirgantara menghindari upacara namun rencana membobol gerbang atau konspirasi dengan pak satpam pun gagal karena orang yang mereka hindari tiba-tiba muncul tanpa diundang.
"Hebat sekali kalian jam segini baru datang!" Sambut suara bariton untuk mereka.
"Buset muncul aja nih Guru." gerutu Bartam dengan suara berbisik.
"Terimakasih pujiannya, Bapak Rahmat." Bartam berujar membuat ketiga temannya tersenyum.
"Itu sindiran!" Sahut Pak Rahmat-guru konseling sengit.
"Perasaan Bapak ini guru BK bukan guru bahasa indonesia, suka banget ngomong pake majas ironi." Timpal Danzel membuat semua mengangguk setuju.
Pak Rahmat melihat name tag, "Danzel Putra Erlangga." Gumamnya mampu di dengan Danzel.
"Siap saya, Pak." Jawab Danzel.
"Kelas sebelas kamu?"
"Siap benar, Pak." Jawabnya lagi berandai seorang tentara dengan posisi tegap.
"Kayak kenal nama belakang kamu." Gumam Pak Rahmat.
"Hah? Dari mana, Pak?" Danzel memajukan tubuhnya, menyangga kedua sikunya di gerbang menghadap Pak Rahmat.
"Adik Dekan Erlangga kamu?" Tanyanya memastika.
"Wuihhh.. Abang Gua di kenal dong." Bangga Danzel menepuk dadanya berulang.
"Dikenal karena nakal bangga?"
"Oiya jelas, justru seperti itu yang sulit dilupain Pak. Contohnya Abang saya Bapak aja masih inget."
"Dibukain gak Pak ini gerbang, kalau gak saya pulang." Ujar Galen membuat aksi mengobrol Danzel dan Pak Rahmat terhenti.
Pak Rahmat berdecak menyuruh Pak Raden-satpam sekolah untuk membuka gerbang. Sebenarnya namanya Rudi dipanggil Pak Raden karena lelaki itu memiliki kumis tebal seperti Pak Raden.
"Masuk! Saya tunggu di lapangan." Pak Rahmat bergumam sepanjang perjalanannya.
Keempat pemuda itu hanya bisa menghela nafas dan berjalan menuju lapangan.
"Heh! Kok kamu telat?" Dari lobby mereka disambut dengan suara perempuan.
"Ya berarti berangkatnya kesiangan, Zoy." Bartam menyahuti ucapan Zoya.
"Iya tau Lo kira Gue bego." Sengit Zoya.
"Kali aja." Timpalnya santai menbuat mata Zoya melotot.
"Nih Gardha, napa bisa telat tadi ngomongnya berangkat dari jam enam ini datengannya hampir jam sembilan mana gak ikut upacara lagi." Omel Zoya.
"Iya jam enam, berangkat ke Warung Bu Jum maksudnya." Gardha cengengesan.
Plak!
Zoya menghantam tangan kekasihnya dengan snail map yang Ia beli dari toko siswa untuk berkas OSIS yang Ia buat.
Tidak mengaduh Gardha hanya tertawa kecil.
"Kamu ngapain kesini?" Tanya Gardha balik.
"Sibuk. Buruan di tunggu Pak Rahmat itu dia udah bawa penggaris panjang tadi, papai." Zoya melambaikam tangannya di balas oleh Bartam, Gardha, dan Danzel.
KAMU SEDANG MEMBACA
GALENDRA [COMPLETED]
Fiksi Umum[Follow terlebih dahulu untuk membaca] Tampang rupawan nan sempurna bak sesosok dewa mempuat setiap wanita yang melihatnya terpikat, dia Galen Ralph Bharaspati. Tak ada yang tahu siapa dia sebenarnya, Dia selalu berhasil menutupi apa saja tentang d...