"Vans? Apa yang kau lakukan? Dimana kekasihku?"
Suara itu membuyarkan pusat atensinya. Ditatapnya lelaki yang sedang berjalan sembari menyingkap fabrik yang membungkus lengan kekarnya. Lelaki ini datang lebih awal dari dugaan.
Insan yang dipanggil Vans terdiam, matanya melirik pintu besi yang sedikit terbuka didepan sana.
"Kau? Kau biarkan Callandra menemui Galen, bedebah!" sempat Ia tangkis kepalan penuh tenaga itu sebelum berhasil menyentuh kulitnya.
"Tutup mulutmu dan buka telingamu, bajingan!" entah kapan dua kakak beradik Girindra ini mampu berdamai. Evans yang berstatus adik, tanpa tahu diri menarik sang kakak-- Eleardo untuk mendekat pada pintu itu dengan sedikit kasar.
Dibukanya sedikit pintu kokoh, kedua lelaki itu melihat serta mendengar dengan seksama alur adegan demi adegan yang disajikan sepasang keka-- ah maksudnya dua manusia disana.
"Kenapa lo ngomong gitu, La! Susah payah gue cari lo. Satu bulan gue dikurung disini, diberlakukan lebih rendah dari seekor hewan, waktu demi waktu gue lalui dengan siksaan, sekarang dengan gak tau dirinya lo ngomong kayak gitu di depan--"
"Aku gak minta diselamatkan, Kak!" satu-satunya gadis disitu berteriak, ait matanya mengalir bak anakan sungai melalui pipi, netranya memandang dengan pandangan yang Galen sendiri tidak mampu menerjemahkannya.
"Meski lo gak minta sekalipun gue bakal ambil apapun yang jadi milik gue dari tangan orang lain, La." Desisnya tajam begitu kentara kalau pemuda yang terikat di tengah ruangan itu begitu menahan amarahnya.
"Sekarang lihat apa yang kamu dapet dari tindakan bodoh kamu, kak!" netra itu. Rasanya tak mampu Callandra menatap lebih lama netra yang kini tampak begitu lelah.
"La--"
"Sweetheart!" Callandra membalikan badannya, di belakang sana terdapat lelaki yang beberapa bulan ini menggaulinya. Panggilan itu, tak ada sesiapapun yang memanggil Callandra seperti itu selain dia, Eleardo Girindra.
Tanpa sudi menoleh pada lelaki lain menatapnya dengan sorot penuh luka, perempuan itu berjalan mendekat pada lelaki yang kini merentangkan tangan siap menerima kedatangannya.
"Aku milik El, kak. Bukan milikmu."
. . .
Itulah saat-saat terakhir dirinya menemui sang dama. Sudah satu minggu semenjak percakapan itu, sang dama tak barang sebentarpun sudi melihatnya meski berada dalam satu rumah yang sama.
Dirinya mati kala badannya masih kokoh berdiri. Dirinya mati kala kakinya masih menginjak bumi. Daksa itu tak lagi memiliki jiwa, yang tersisa hanyalah lakuna tanpa nyawa.
"Pergilah, Gal! Lo udah denger sendiri dari, Callandra 'kan." Demi alam semesta dan seluruh isinya, Evans lebih baik merasakam hantaman gila dari manusia yang dulunya digadang iblis jalanan itu daripada melihat sang iblis mati dalam daksa yang masih hidup. Rasanya seribu kali lebih menyakitkan, entah kenapa Evans tak mengetahui penyebabnya.
Dua lelaki itu berada pada bandar udara lawas, dengan satu pesawat yang akan digunakan untuk memulangkan Galen ke Nusantara. Berdiri dengan jarak hanya beberapa meter di samping pesawat, dua orang dengan style yang jauh berbeda itu menatap kendaraan terbang yang terparkir apik disana
"Kenapa siksaan hari terakhir itu lo gak menggal kepala gue, Vans?" netra tajam itu menyorot begitu hampa.
"Kenapa hari terakhir hukuman justru lo pakai buat ngobatin luka gue, Vans?" daksa kekar itu tak berdiri namun jiwanya entah pergi kemana, Galen nampak lebih kosong dari apapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
GALENDRA [COMPLETED]
General Fiction[Follow terlebih dahulu untuk membaca] Tampang rupawan nan sempurna bak sesosok dewa mempuat setiap wanita yang melihatnya terpikat, dia Galen Ralph Bharaspati. Tak ada yang tahu siapa dia sebenarnya, Dia selalu berhasil menutupi apa saja tentang d...