02

2.3K 247 20
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



02 : Be








Di pagi yang sama, Taeyong yang baru saja menutup pintu apartemen lantas ambruk ke lantai. Ia menunduk dengan kedua tangan yang memeluk lutut. Wajah itu kini begitu lesu. Ia tiba-tiba menangis. Kejadian hari ini sudah mengingatkannya pada masa lalu.



Di balik semua kata-kata motivasi dan juga raut tenang itu, ia memendam semuanya dengan amat sangat baik. Taeyong berhasil melakukan itu untuk dirinya sendiri. Ia tak mau terlihat lemah, dan juga tak mau dikasihani. Padahal nyatanya, dialah yang paling lemah di antara teman-temannya yang lain.



Dia memukul-mukul dinding yang tepat berada di samping, sementara tangan yang lain tengah menahan isakan yang hendak keluar dari mulut. Bagi sebagian orang termasuk dengan Taeyong, tangis yang paling menyiksa adalah tangisan seperti ini. Menangis memang bisa membuat ia jauh lebih tenang daripada sebelumnya.



Saat menggagalkan percobaan bunuh diri Jisoo tadi, dia sebenarnya sangat ketakutan. Selain kenangan dahulu yang sempat terlintas, ia juga sangat takut kehilangan nyawa seseorang. Baginya, nyawa manusia itu bukan semata-mata mainan yang bisa dihancurkan kapan saja. Ia sangat menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Taeyong adalah pribadi yang sangat taat. Ia juga sejak lama sudah sepenuhnya berdamai dengan dirinya sendiri.



Taeyong sudah mereda, ia kemudian melihat ke arah jendela. Kepulan asap keluar dari sana. Taeyong tersenyum kecut, rupanya Jisoo masih terjaga. Gadis itu bukanlah gadis yang mudah diredakan. Taeyong tahu Jisoo masih marah dan gelisah.



Ia berdiri dan kemudian melangkah ke arah sebuah meja. Meja yang selama ini telah menemani Taeyong melalui masa-masa sulit. Diraihlah sebuah figura yang ditutup secara sengaja olehnya sejak lama.



Pada foto di figura itu, Taeyong tersenyum sangat lebar dengan lengan yang merangkul bahu seseorang. Sudah lama ia bisa tersenyum seperti itu. Namun sedetik kemudian, ia teringat kembali dengan rasa sakit yang kembali muncul. Ia pun menutup figura itu lagi dan pergi untuk mandi. Tentu saja ia tak boleh lengah. Perasaan itu sudah lama hilang beriringan dengan jati dirinya yang sudah lama mati.



Keadaan pagi masih mendung hingga pukul tujuh. Sinar mentari kini sudah menyoroti gorden transparan milik Jisoo. Ia menoleh ke samping, kemudian kembali melanjutkan tontonannya. Lagi-lagi ia tak beristirahat dan malah memilih untuk menonton film bahkan sampai fajar tiba. Di hadapan Jisoo sudah berserakan kaleng-kaleng bir dan juga beberapa camilan ringan. Rambutnya sangat acak-acakan, kantung matanya pun semakin menghitam saja.



Jisoo sadar betul bahwa ia tak merawat dirinya dengan baik. Niatnya untuk berubah telah sirna. Terakhir kali ia memiliki niat seperti itu hanya karena sang kekasih. Selebihnya Jisoo kembali menjadi gadis yang tak bisa dikontrol. Jisoo dahulu sangat bergantung pada kekasihnya, sehingga hubungan yang sudah merenggang itu berdampak pada kehidupannya saat ini.



When We Were WrongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang