19. Berbeda

202 18 0
                                    

Hari-hariku berjalan dengan baik di sini,ada banyak hal baru yang mengesankan. Sedikit banyak aku sudah melupakan Mba Zila dan pengantar galon itu, bukan orangnya, tapi kenangannya.

Pagi ini aku ke ATM untuk mengambil jatah bulanan. Harus berjalan cukup jauh dari pesantren, karena letak pesantrenku lumayan jauh dari jalan raya. Namun malangnya, langit yang sedari tadi sudah mendung sekarang menangis. Untung saja posisiku saat ini dekat dengan halte. Aku berlari kecil untuk berteduh.

"Huft, mana bentar lagi waktunya salat duha. Aduh ... setorannya bakal dobel ini,"gumamku.

Di halte ini hanya ada dua orang, aku dan satu orang laki-laki yang sibuk dengan ponselnya.

Angin berembus semakin kencang, hujan pun semakin deras. Kulihat kukuku mulai membiru, telapak tanganku mulai keriput, dan tubuhku mulai menggigil.

Hp di genggaman tanganku menyala, ada panggilan telepon dari Mila.

"Kamu di mana sekarang ?"

"Aku di halte."

"Aku jemput ya."

"Ngga usah, ujannya lebat banget."

"Beneran? Ini suaramu gemeter loh, dingin banget pasti kan?"

"Iya, dingin banget emang, tapi ngga papa ko. Kalo mau jemput,nanti aja kalo udah agak reda."

Duar!

"Ah!" Aku sontak menjerit mendengar guntur.

"Udah ya Mil, aku takut main hp lagi hujan guntur gini."

"Ya udah, hati-hati Mir."

Guntur semakin bergemuruh, kilat terlihat menyambar-nyambar, seakan ingin membelah langit Kota Pelajar.Aku menyilangkan kedua tanganku, mengusap lengan atasku.

"Mba maaf." Laki-laki di sebelahku bersuara.

"Iya?"

"Ini pake jaket saya, sepertinya Mba kedinginan banget." Dia menyodorkan jaket berwarna coklat.

"Ngga usah Mas, pake Masnya aja."

"Saya cowo Mba, lebih kuat nahan dingin."

Akhirnya aku pun mengambil jaket miliknya.

"Makasih Mas." Dia mengangguk. Dia yang tadi sibuk dengan ponselnya, sekarang sibuk dengan ranselnya, seakan mencari sesuatu.

"Eh Mas, ada yang jatuh."

"Makasih Mba."Dia pun mengambil sebuah barang yang terjatuh di dekat kakinya, lalu ada sesuatu yang tersembul dari kaosnya, salib. Dari situ aku tahu bahwa kami berbeda keyakinan.

Duar!

"Subhanallah." Spontanku saat guntur mengejutkanku.

"Apa ucapmu?"

"Hah?"

"Kamu barusan bilang apa?"

"Subhanallah."

"Artinya?"

"Mahasuci Allah."

Dia mengangguk-angguk.

"Oya, mau tanya boleh?"

"Boleh, tanya apa?"

"Kenapa kamu memilih Islam sebagai agama?"

"Aku ngga memilih, aku terlahir dari keluarga Islam."

"Sekarang kamu udah dewasa, bisa memilih jalan sendiri, kenapa kamu masih tetap pada Islam?"

Santri Fall In Love || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang