17. Ahlan Wa Sahlan

219 17 0
                                    

Positif tak selalu baik, negatif pun tak selalu buruk. Sebagaimana putihnya mori yang menakutkan padahal putih dianggap suci. Pun hitamnya Ka'bah yang membuat rindu padahal hitam dianggap kelam. Cobalah untuk menilai orang lain dari banyak sisi. Jangan menilai seseorang lemah hanya karena sering melihatnya menangis. Pun jangan menganggap orang lain tak punya beban ketika tertawanya berlebihan. Karena kita tidak tahu bagaimana dia di depan Rabbnya (kepribadian seseorang yang sesungguhnya adalah ketika dihadapan Rabbnya).

°~°

Entah mengapa, selama di perjalanan wajah pengantar galon itu terus membayang di pelupuk mata. Memejamkan mata pun tak juga hilang.

Wajahnya memang menyenangkan untuk dipandang, suaranya juga menenangkan. Tapi aku sadar, dia bukan untukku.

"Gimana Zila tadi Mir?" Ummi membuyarkan lamunanku.

"Ya gitu lah Mi, tapi Mira maklum ko. Kalo Mira di posisinya juga mungkin sama aja." Setelahnya Ummi terdiam. Di mobil hanya ada suara lagu Arab yang benar-benar sahdu didengar.

Kulihat jalanan,dengan pohon-pohon yang tampak berjalan. Lagi, pengantar galon itu muncul.

'Kamu ngga suka sama dia kan?' otakku bertanya pada hatiku. Lalu, air mata sebagai jawabannya. Entah jawaban seperti apa yang dimaksud, aku sendiri pun tak mengerti.

*
Malam harinya hujan. Bunyi rintiknya memenuhi kamarku, menemani sepiku. Hujan tak membawa kenangan. Hanya saja hujan mampu menghadirkan suasana yang sahdu, suasana yang menjadikan siapa pun mudah untuk mengenang masa lalu.

22.48

Aku masih belum bisa memejamkan mata. Tak ada yang aku lakukan selain menatap langit-langit kamar. Bayangan Mba Zila dan Ikbal muncul silih berganti.

'Benarkah aku yang bersalah?'

'Benarkah aku mengacaukan hubungan mereka?'

'Lalu apakah aku juga salah, masuk ke pesantren itu?'

Pertanyaan demi pertanyaan muncul, tapi sayang, aku tak bisa menjawabnya dengan pasti. Semuanya aku jawab sama rata, YA AKU YANG SALAH. Tapi benarkah?

"Astaghfirullah...." Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.

***

05.15

Mentari mulai menyapa bumi. Sinarnya masih malu-malu untuk masuk ke dalam rumahku. Tapi aku tetap mempersilakannya masuk, dengan membukakan gorden untuknya.

Kuhampiri Ummi dan Abi yang ada di dapur.

"Mi, Bi, ini Mira ke pondok adiknya Ummi Badia kapan? Hari inikah?"

"Iya dong hari ini. Lebih cepat lebih baik kan?" Jawab Ummi.

"Kalo kelamaan di rumah jadi males buat mbalik pondok. Iya ndak?" Abi memberiku jawaban usai menyeruput kopinya.

"Ya udah deh, Mira mau mberesin barang-barang dulu."

Sebenarnya tidak banyak yang perlu aku siapkan, karena koper dari pondok kemarin belum aku bongkar.

Pagi menjelang siang, kami mulai perjalanan menuju Kota Gudeg. Aku tak berharap bisa menemukan pengganti pengantar galon itu, aku hanya berharap agar keadaan di sana jauh lebih baik.

*
16.30

Kami baru tiba di pondok. Langsung saja kami menuju ndalem, dan di depan ndalem ada Ummi Aida -adik Ummi Badia- dan juga suaminya.

"Assalamualaikum Ummi." Sapaku lalu meraih tangannya setelah Ummi (Ummiku).

Ummi Aida ini sangat menyenangkan, dari mulai parasnya hingga pembawaannya. Senyum tak pernah luput dari bibirnya. Kata Bilqis, Ummi Aida ini cenderung diam saat marah.

"Waalaikumsalam, Alhamdulillah ya Mir sampe juga. Ayo masuk."

"Gimana perjalanan Cilacap-Jogja?"

"Luar biasa Mi."

"Tapi sekarang jalannya udah mulus semua kan?"

"Iya Alhamdulillah Mi."

"Nah, dulu itu ada jalan yang bener-bener rusak, jadi nikmatnya dobel-dobel."

Pembicaraan ringan ini sangat renyah . Dan untuk sejenak aku melupakan dukaku, tapi aku harap bisa lekas berdamai dengan keadaan.

"Mohon maaf ini Mbak Aida, udah mau magrib, mau mberesin barangnya Mira." Ucap Ummi.

"Oh nggih Bu, mangga, sampe lupa saya. Tadi saya udah nyuruh Mba Santri juga buat nyiapin tempat buat Mira."

"Makasih Mi."

"Nanti kalau udah ke sini lagi buat makan sore ya..."

"Nggih, nggih." Lalu kami mengambil barang-barangku di mobil. Abi membawakannya sampai balkon, setelahnya beliau kembali ke ndalem.

Orang-orang di sana sangat humble, raut wajahnya menampakkan sifat dewasa. Ya, walaupun fisik tak bisa menjadi patokan untuk penilaian, setidaknya bisa menjadi pertimbangan.

Santri Fall In Love || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang