13. Masalah Hati

218 21 0
                                    

Semenjak Mba Zila keluar kamar, dia tidak kembali lagi sampai menjelang magrib. Ketika dia mandi pun meminta tolong pada Bilqis untuk mengambilkan pakaiannya. Bahkan saat bertemu di masjid waktu salat magrib pun buang muka. Jujur hatiku sangat teriris.

Saat ini, pukul 19.30, usai melipat mukena aku duduk di ranjang sambil menatap ubin.

"Mira..." Bilqis mengagetkanku.

"Masih soal Mba Zila?" Aku mengangguk.

"Aku ngga tau harus gimana Bil, rasanya serba salah."

"Emang kamu mau ngapain?"

"Assalamualaikum Mba Mira, Mba Bilqis," sapa seorang santri.

"Waalaikumsalam, ada apa?"

"Mba Mira suruh mbantuin mbungkusin jajan di ruang kelas 2."

Aku mengangguk.

"Tapi aku boleh ikut mbantu kan?" Tanya Bilqis.

"Boleh ko mba."

Kami pun menuju ruang kelas 2. Ada Mba Zila rupanya, Begitu kami mengucap salam, Mba Zila langsung menoleh dan menatapku tajam.

Aku berbaur dengan para santri yang tengah sibuk mengurus kardus Snack beserta isinya.

"Panggilan kepada Mba Zila untuk segera ke ndalem." Suara seorang santri terdengar di sentral. Mba Zila pun beranjak, tanpa sedikit pun menoleh ke arahku.

"Ngga papa Mir, besok bakal membaik," ucap Bilqis lirih.

'Aamiin.' batinku sambil tersenyum.

"Mba Mir, kamu sama Zila ko kaya lagi ada masalah si?" Tanya Mba Lekha yang duduk tak jauh dariku beberapa menit setelah Mba Zila pergi.

Aku hanya tersenyum tipis.

"Cerita aja Mba, siapa tahu kita bisa ikut membantu."

"Aku ngga tau harus cerita dari mana Mba, dan aku pun ngga pengin cerita."

"Ya udah deh, semoga kalian segera membaik ya."

Aku kembali mengaminkan dalam hati.

***

Ikbal pov

Setelah meminta pendapat Musa dan mempertimbangkan dengan baik aku menghubungi Umi dan Abi untuk meminta pendapat mereka juga.

Masalah hati mungkin menjadi masalah terumit –tak berwujud, rasanya pun abstrak.

Umi dan Abi pun sempat terkejut dengan apa yang aku ceritakan. Mereka tidak mengatakan banyak hal, mereka menyerahkan sepenuhnya keputusan kepadaku.

"Mi,Bi, keputusan Ikbal ngga salah kan?"

"Ya dari pada kamu terpaksa nikahnya, lagi pula kan dalam perjodohan ya wajar kalo ada yang ngga cocok," Umi menenangkan.

"Ya udah, kita langsung ke kompleks putri aja ya," ucap Abi.

Aku dan Umi mengangguk.

"Eh bentar. Emangnya ngga papa? Besok kan harlah, takutnya jadi merusak suasana Bi,Mi." Mereka saling tatap.

"Bal, kejadiannya kan hari ini, ya harus diselesaikan hari ini juga. Masalah kalo ngga diseleseiin bakal jadi beban Bal," ucap Umi. Akhirnya aku kembali melangkah, pun orang tuaku.

Aku sendiri tidak tahu apa yang harus aku katakan pada Abah dan Umi Badia.

Rasanya tak keruan berjalan ke arah kompleks putri, apalagi setelah melihat ndalem, rasanya kaki sudah tidak menapak di bumi.

"Assalamualaikum," ucap Abi di depan ndalem.

"Waalikumsalam, mari masuk." Umi Badia yang muncul.

Kami pun duduk. Rasanya suhu ruang tamu ndalem ini minus derajat, jauh lebih grogi dari pada saat itu, terlebih Abi dan Umi memberi kode agar aku yang mengutarakan maksud kami. Jujur aku tidak tahu harus memulai dari mana.

"Ayo Bal, bilang." Umi menyikutku.

"Ah iya."

"Begini Umi, sebelumnya mohon maaf, tapi apakah boleh jika saya berbicara dengan Zila?"

Umi Badia nampak bingung.

"Tidak perlu berdua Mi, di sini saja, biar disaksikan banyak orang." Umi Badia tersenyum, lalu beliau keluar memanggil salah satu santri.

"Mba panggilken Mba Zila ya." Begitu yang aku dengar. Tak lama kemudian setelah santri itu memanggil dari sentral Zila masuk ke ndalem. Matanya sembab, wajahnya tidak lagi terlihat ceria. Setelah dipersilakan, Zila duduk di samping Umiku.

"Silakan Nak Nawi, mau bicara apa?"

Dengan menyebut nama Allah, aku menunduk lalu mulai berucap.

"Sebelumnya aku minta maaf Zil, mungkin akan sangat menyakitimu. Seperti yang kamu tau, dalam perjodohan pasti ada kemungkinan tidak cocok. Maaf beribu maaf, aku tidak bisa melanjutkan taaruf ini."

Hening. Ruang tamu ini benar-benar hening. Aku pun masih menunduk.

"Apa karena Mira?" Suaranya yang parau memecah keheningan.

"Mira?" Tanya Umi Badia dengan nada heran.

"Ada apa ini?" Abah Ali muncul.

Tapi tidak ada satu pun yang menjawab. Aku masih tetap menduduk. Lalu dengan hati yang berdebar luar biasa aku mengangguk.

"Ya, walaupun aku sendiri tidak tahu dengan perasaannya, tapi aku tidak mungkin menikahi suatu perempuan sementara pikiran dan hatiku pada perempuan lain."

"Lalu kenapa waktu itu kamu mau menjalani taaruf ini?" Suaranya semakin parau.

'Karena aku tidak enak hati.' Aku tak berani untuk mengucapkan kalimat itu.

Ekor mataku menangkap Umi Badia beranjak.

"Mba, Mba." Aku rasa Umi Badia berusaha memanggil seorang santri.

"Panggilken Mba Mira ya... Suruh ke ndalem."

"Nggih Umi."

'Astaghfirullah... Kenapa Mira dipanggil? Ya Allah... Mira ngga salah apapun, Mira ngga tau apapun... Aku ngga mau hubungan Mira dan Zila retak Ya Allah.' Aku tidak bisa membayangkan jika Mira ada di ruangan ini. Tapi apa pun yang terjadi, semoga adalah yang terbaik untuk kita semua.

Santri Fall In Love || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang