8. Kabar Baik

247 22 0
                                    

Tiga minggu telah berlalu. Artinya harlah tinggal satu minggu.

"Mb-a M-Mir-a." ucap Mba Zila tersendat-sendat.

"Ada apa sih Mba, tarik napas dulu dong."

"Oke." Mba Zila mulai mengatur nafasnya.

"Ingat waktu aku bilang hanya beberapa santri yang beruntung bisa dapet santri sini?" matanya berbinar.

"Ya?  Kenapa?"

"Ternyata aku menjadi salah satunya." ucapnya dengan nada yang meledak-ledak.

"Maksudnya? Mba..?" aku berusaha menduga.

Mba Zila mengangguk.

"Aku mau dikhitbah sama santri sini!" sekarang dia memelukku.

"Sungguh?"

Dia mengangguk.

"Tadi aku dipanggil sama Umi Badia, terus beliau bilang begitu. Esok keluarganya akan datang kemari. Begitu juga keluargaku."

"Lamaran besok?"

"Ngga, memperkenalkan diri. Khitbahnya belum tau kapan, kan ta'aruf  dulu."

"Ye... Tadi bilangnya mau dikhitbah. Kalo gini kan belum pasti."

"Tapi aku yakin ko, kalo dia bakal jadi suamiku."

"Tau namanya?"

"Belum, kan esok perkenalannya."

Aku hanya tersenyum.

Tiba-tiba aku teringat pada seorang santri yang mengantar galon saat aku sedang tasmi'  di sentral.

'Dia siapa yah?'

Sorot matanya tergambar jelas di ingatanku, walaupun saat itu aku membagi fokus dengan bacaanku.

"Aduh ngga sabar nunggu besok deh." ucapnya sambil membaringkan tubuhnya.

"Besok pas ketemu tinggal grogi."

"Grogi kan manusiawi."

"Assalamualaikum." sapa seorang santri yang sudah diambang pintu.

"Waalaikumsalam. Gimana?"

"Mba Mira diminta mengantar sayur sama Umi Badia ke pos santri putra."

"Oke." jawabanku membuatnya segera berlalu, pun aku yang segera beranjak.

"Assalamualaikum Umi." sapaku saat menghampiri Umi di dapur pondok.

"Waalaikumsalam. Minta tolong antarkan ini ya Mir."

"Nggih Mi."

Demi apapun aku merasa grogi untuk menginjakkan kaki di kompleks putra walaupun hanya dibagian depan. Begitu telah menyebrangi jalan raya, tanganku mulai dingin.

"Astagfirullah.. Bismillah... Ya Allah..." ucapku pelan sambil mulai memasuki gerbang kompleks putra.

Kalian bisa membayangkan bukan, apa yang tengah aku rasakan? Terlebih aku kemari seorang diri.

"Mira?"

"Astagfirullah." langkahku terhenti begitu mendengar suara santri putra. Kutundukkan kepalaku. Dan seketika badanku seperti membeku.

"Mba Mira kan?" ulangnya.

"Iya."ucapku pelan.

"Itu sayur buat santri putra?"

"Iya."

"Sini."

Aku berusaha mengangkat wajahku, menoleh ke arahnya.

Wadah yang berisi sayur itu tiba-tiba seperti berubah menjadi batu. Berat.

'Cowo ini?'

"Namaku Ikbal." ucapnya saat wadah itu sudah sempurna ia terima.

"Saya permisi." tak menunggu jawabannya, aku segera berbalik badan. Mempercepat langkahku meninggalkan kompleks putra.

'Oh, jadi namanya Ikbal?'

                                        ~~~
Ikbal pov

Usai mendapat titah dari pengurus, aku segera menuju pos untuk mengambil sayur.
'Eh, kaya kenal tuh cewe.' batinku saat sudah dekat dengan pos.

"Mira?"

Walaupun posisinya menyamping dan menunduk, tapi aku yakin dia memang Mira.

"Mba Mira kan?" ulangku. Karena aku pikir dia tak suka jika aku hanya sekedar memanggil nama.

"Iya."

'Gila, lembut banget suaranya.'

"Itu sayur buat santri putra?"

"Iya."

"Sini." aku mengulurkan tanganku, walaupun posisinya masih menyamping. Tapi perlahan mulai menghadapku.

'Ngenalin ngga yah? Kalo ngenalin takut dia risih, ngga suka, terus ngehindar deh. '

"Namaku Ikbal."

'Buset deh ni mulut, kaga ada remnya.'

"Saya permisi." dia segera berbalik badan. Langkahnya sangat cepat. Dipercepat lebih tepatnya.

'Tuh kan. Tapi ngga papa lah, yang penting dah ketemu Mira.'

"Mas Ikbal!" panggil seorang santri.

Aku mendekat.

"Ada telepon dari Uminya." dia menyerahkan hp pondok.

"Assalamualaikum Mi."

"Waalaikumsalam. Sehat Bal?"

"Alhamdulillah, Umi sama Abi gimana?"

"Alhamdulillah sehat juga. Oya, besok Umi sama Abi mau ke sana. Kamu jangan kemana-mana ya... Usahakan udah rapi."

"Ko tumben?"

"Tumben gimana?"

"Biasanya kan kalo Umi sama Abi ke sini ngga pernah bilang-bilang, apalagi suruh rapi."

"Besok mau Umi ajak pergi."

"Oh, oke deh."

"Ya udah. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Setelah telepon dari Umi terputus, aku segera menuju kantor untuk mengembalikan hp.

'Mungkin ini kali yah, yang dinamakan kejatuhan duren. Udah ketemu Mira, besoknya mau diajak pergi pula. Alhamdulillah... Rejeki anak sholeh.' batinku sambil tersenyum.

Senyumku tak mengendur sama sekali sampai aku berada di atas ranjang.

"Lo kenapa bro? Hepi amat keliatannya." Musa bertanya.

"Kejatuhan duren."

"Dimana?" matanya terbelalak.

"Di depan pos." ucapku dengan senyum yang masih mengembang.

"Emang ada pohon duren? Kan cuma ada pohon belimbing di sana."

"Ada, ada bidadarinya juga." ucapku sambil memejamkan mata, dengan senyuman yang masih aku pertahankan.

'Mira...'

Astagfirullah. Aku sadar aku salah, terus menerus memikirkan yang belum halal. Aku berniat untuk menyegerakan menghalalkan Mira. Dan insyaallah, besok akan aku utarakan niatku pada Umi dan Abi. Bismillah, semoga mendapat restu.

Santri Fall In Love || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang