10. Dilema

232 17 0
                                    

"Bagaimana Bal? Cantik kan?" tanya Ummi saat sudah keluar dari kompleks putri.

Aku mengangguk sambil tersenyum tipis.

"Kenapa kalian ngga bilang kalau mau nyariin Ikbal calon Mi, Bi?" ucapku lemah. Mereka saling tatap.

"Kenapa emang?" tanya Abi. Aku menghela napas.

"Apa kamu udah punya calon?" tanya Ummi. Aku menunduk.

"Bal?" Kali ini Ummi menepuk pundakku.

"Tadinya Ikbal mau ngasih tau kalian kalau ada santri yang bikin Ikbal tertarik. Ikbal pengin ngajak taaruf santri itu. Tapi Umi dan Abi?"Mereka kembali saling tatap.

"Harusnya kalian bertanya dulu apakah Ikbal udah punya calon atau belum kan?  Kalau udah gini mau gimana?" Aku menatap mereka secara bergantian lalu memalingkan wajah.

Baru kali ini aku merasakan sesak sebab seorang perempuan.

"Bal, maafin Umi sama Abi ya.. Kami pikir kamu belum punya calon. Karena kami lihat kamu sangat tertutup terhadap perempuan."

"Tertutup bukan berarti ngga punya ketertarikan kan?" Aku masih memandang arah yang lain.

"Kan bisa dibatalin Bal,"Ucap Abi.

"Abi sama Ummi enak hati menolak Abah dan Ummi Badia?  Apalagi santri yang Ikbal maksud juga santri sini. Apa yang akan mereka pikirkan Mi? Bi?  Bagaimana perasaan perempuan tadi?"

Huh, bahkan aku masih sempat memikirkan perempuan itu. Lagi lagi mereka saling tatap.

"Sudahlah Mi, Bi, Ikbal mau istirahat. Assalamualaikum." Aku langsung menyambar tangan mereka lalu berlalu. Jawaban mereka nyaris tak terdengar.

*
Kubaringkan tubuhku di kasur, dengan dada yang benar-benar sesak.

"Kenape bro?  Habis jalan-jalan ko kusut muka lo?" Musa menghampiriku.

Aku diam.

"Crita dong bro!" Kali ini dia menepuk pundakku.

"Lo masih inget waktu kita nganter galon?" Dia mengangguk.

"Inget perempuan yang nyimak Mira?" Dia kembali mengangguk.

"Gue dijodohin sama dia."

"Serius?!" Seketika mulutnya terbuka lebar dan matanya terbelalak.

"Gimana critanya bro?"

"Gue aja ngga tau apa-apa. Pas Nyokap sama Bokap gue ke sini langsung ngajak ke kompleks putri. Langsung aja tuh gue dijodohin, tanpa tanya dulu gue udah punya calon atau belum."

Dia menggelengkan kepalanya.

"Terus gimana sama Mira?"

"Ya gimana lagi? Gue ngga enak kalau mbatalin taarufnya."

"Emang lo mau nikah paksa? Lagian kalo  nikah sama dia, kasian dianya. Masa iya sih tidurnya sama dia tapi pikirannya ke Mira."

"Bener juga lo. Tapi coba deh lo pikir, gimana kalo lo di posisi gue?"

"Ya bingung juga sih. Tapi kalau nolak ya ngga masalahlah. Apalagi Abah sudah mempersilakan jika lo mau mbatalin."

"Trus alesannya ngga cocok?  Abis itu ke sana lagi buat minta Mira? Ngga tega gue sama cewe itu."

"Argh!" Musa mengacak rambutnya frustasi.
"Gini aja deh. Lo kan dikasih waktu. Nah lo gunain tuh buat istikhoroh. Minta petunjuk, insyaallah deh, kalau Allah yang ngasih petunjuk ngga bakal salah jalan."

"Hem ya, bakal gue coba."

~~~

"Gimana Mba?" Aku menyambut Mba Zila dengan rasa penasaran tingkat tinggi.

"Aku ngga nyangka Mba, ternyata yang ngajak taaruf itu santri yang dulu pernah nganter galon."

"Ikbal Asnawi namanya."

Jleb!

'Ko kaya ngerasa ngga trima sih?'

"Kenapa Mba?"

"Eh ngga papa. Trus gimana?"

"Abah ngasih waktu dua bulan buat taaruf. Tapi aku ngerasa ada yang aneh sama dia."

"Kenapa emang?"

"Wajahnya lesu. Harusnya ceria kan?"

"Mungkin grogi kali Mba."

"Hem mungkin. Doain ya Mba Mir, biar bisa sampai ke pernikahan. Langgeng kakek nenek."

"Aamiin." Aku mengaminkan ucapannya diliputi perasaan yang tak aku mengerti.

Mungkinkah aku jatuh hati sama dia?  Bagaimana bisa?

Ah tau lah! Mendingan murajaah dari pada mikir ginian. Toh jodoh ngga kemana. Lagi pula dia sedang bertaaruf sama Mba Zila, jangan sampai deh dianggap pelakor.

Santri Fall In Love || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang