11. Kacau

245 19 4
                                    

Satu hari sebelum harlah...

Seperti halnya tahun-tahun yang lalu, pesantren mengadakan praacara. Ada banyak perlombaan yang diselenggarakan:tahfidz, azan,  rebana, kultum, kaligrafi, membaca kitab kuning, dan debat bahasa arab.

Alhamdulillah, aku diberi amanah untuk menjadi bagian dari panitia harlah sekaligus memegang bagian tahfidz.

"Astagfirullah Bil, daftar peserta ketuker sama punya santri putra." Ucapku pada Bilqis yang ikut menemaniku memegang lomba tahfidz.

"Ya udah yuk kita tuker."

"Ngga usah, kamu sini aja menertibkan mereka sama membuka acaranya. Biar aku ke sana sendiri aja."

Setelah dia mengangguk aku pun segera menuju kompleks santri putra.

"Assalamualaikum Mas." Sapaku kepada santri yang juga memakai seragam.

"Waalaikumsalam, gimana Mba?"

"Ini daftar peserta lomba tahfidz ketuker."

"Oh,  barusan yang megang daftar hadirnya ke kompleks putri."

"Oalah terus gimana yah Mas?"

"Balik aja Mba, siapa tahu papasan."

"Kan aku ngga tahu siapa yang pegang."

"Namanya Ikbal."

"Ikbal Asnawi, "sambungnya.

'Huh! Dia lagi dia lagi!'

"Ya udah deh Mas. Makasih ya. Assalamualaikum."

"Sama-sama Mba. Waalaikumsalam."

Aku pun berbalik arah, kembali ke kompleks putri.

"Harus nyari kemana yah?" ucapku sambil celingukan.

"Kenapa sih harus ketuker? Sama dia lagi?!" aku masih terus menggerutu.

Berjalan tak tahu arah, semau-maunya kaki melangkah. Ya karena aku tidak tahu dia di mana.

"Mba Mira." Langkahku terhenti. Kakiku mendadak kaku. Aku yakin itu suaranya.  Perlahan aku berbalik badan. Lalu menyodorkan map berisi daftar peserta.
Tapi dia malah menatapku,dalam, seperti ingin menyampaikan sesuatu.

"Heh!" aku menyadarkannya dengan nada sebal.

"Eh iya. Nih."

Dengan cepat aku meraih map di tangannya, setelah dia meraih mapku.

"Eh Mba Mir." Aku yang baru saja berbalik badan dan hendak melangkah kembali terhenti.

"Apa lagi?" ucapku tanpa berbalik badan.

"Mau nikah sama aku?"

Deg!

Seperti tersambar petir dan kejatuhan bom.

"Heh! Sadar dong!  Kamu itu sedang menjalani taaruf dengan Mba Zila!" ucapku setelah berbalik badan.
Rasa kesal yang membuncah membuatku tak bisa mengontrol kalimatku,hingga terdengar kasar.

"Aku berniat membatalkan taaruf itu, karena aku sudah lebih dulu menyukaimu."

Aku menggelengkan kepala. Sejurus kemudian aku menangkap sosok yang tengah berkaca-kaca.

Aku segera mengejar dia yang mulai berlari.
"Mba Zila!  Tunggu Mba!" Bukannya berhenti malah semakin cepat.

'Awas aja kalau sampai Mba Zila marah besar, aku tak sudi untuk melihat wajahnya lagi!'

"Mba Zila!" Aku berhasil meraih tangan kirinya. Dia pun berhenti. Tapi tangannya tetap meronta.

Saat aku melihat wajahnya, air mata tengah mengucur deras.

Santri Fall In Love || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang