31. Terungkap

200 18 3
                                    

Jenazah Ikbal (sangat menyesakkan menyebutnya jenazah) dipulangkan setelah dibersihkan. Keluargaku pun ikut ke rumahnya.

'Harusnya kamu yang ke rumahku, tapi ternyata keharusan itu ngga berlaku.'

Kulihat sudah ada bendera putih berkibar di depan rumahnya, pun sudah ada beberapa pelayat.

Jenazahnya dimandikan lagi, lalu disolatkan. Saat kerandanya keluar, tubuhku gemetar.

'i love you till the end of my life.' kalimat terakhirnya kembali terngiang.

Saat wakil keluarga Ikbal menyampaikan sambutan, ada seorang laki-laki yang mendekatiku. Aku tidak tahu siapa, tapi tidak asing dengan wajahnya.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

"Saya Musa, Mba." Dia tersenyum, menengok ke arah jenazah Ikbal.

"Teman Ikbal waktu di pesantren Ummi Badia." Aku mengangguk-angguk.

"Kamu bersyukur,dicintai oleh laki-laki itu hingga terbawa ke liang lahat." Aku kembali meneteskan air mata. Rasanya aku ingin menjerit, mengguncang tubuhnya agar kembali membuka mata.

"Yang kuat ya Mba." Lalu dia pergi, menjadi salah satu pemanggul jenazah Ikbal.

Aku, Ummi, Mba Sarah, dan Mila tetap tinggal, mendampingi Tante Rumana.

Kuraih tangan Tante Rumana yang teramat dingin. Lalu perlahan kurengkuh tubuhnya.

"Mira bersedia menjadi istri Ikbal, tapi bidadari syurga lebih layak dari pada Mira, Tante." Bisikku.

***

Tiga hari setelah kepergian Ikbal, aku masih belum sepenuhnya menerima. Bahkan setiap malamnya aku selalu menanti pagi, dalam pikiranku, aku harus menemui Ikbal untuk memberi jawaban.

"Mira." Mila yang sejak pagi keluar sekarang sudah di sampingku, meraih tanganku.

"Waktu kamu mengira, kalo aku lapor ke Ikbal saat di Ledok Sambi, itu benar. Bahkan selama ini setiap aku keluar, aku menemui Ikbal untuk memberi kabar tentang kamu." Mila menarik napas panjang. Aku lihat air yang tergenang di pelupuk matanya mulai jatuh.

"Kira-kira,kalau aku ngga laporan kamu ke Ledok Sambi, sehingga dia ngga menyusulmu,mungkin nggak dia masih hidup sekarang?" Air mataku ikut luruh.

"Semua ini telah menjadi skenario Allah Mil. Jangan salahin diri sendiri ya..." Aku mengusap punggung tangannya. Lalu, penyesalan yang sudah berusaha aku netralkan, kini kembali membuncah.


"Aku sangat menyesal atas sikap aku ke dia Mil. Cuek, jutek, selalu menghindar. Dan penyesalan terbesar adalah, aku terlambat untuk menjawab pertanyaan Tante Rumana."

"Kamu hanya kurang aware sama perasaanmu. Kamu menutupi satu kebenaran besar hanya karena satu keraguan kecil." Aku menarik napas panjang, berusaha meredakan perasaan yang sangat menyesakkan.

Dering ponsel Mila memecah keheningan kamar asrama. Raut wajahnya saat mengangkat telepon sangat tidak biasanya.

"Alhamdulillah. Baik Pak saya ke sana." Mila menutup panggilan, lalu menarik tanganku.

"Ayo Mir, dan ngga usah banyak tanya." Mila membawaku ke ndalem, berniat untuk izin, tapi rupanya Ummi Aida ada di pendapa.

Santri Fall In Love || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang