32. Menyusun Puzzle

179 18 3
                                    

Sejak tahu bahwa pelakunya sudah terungkap, Mila langsung menghubungi Tante Rumana.

Saat ini, Tante Rumana tengah berdiri di hadapan Mba Zila yang duduk sambil menunduk. Sudah sangat lama Tante Rumana tidak mengatakan apapun, hanya menatap Mba Zila sambil menangis. Inilah yang paling membuatku takut, marah dan kecewa dalam diam. Karena buatku, hal itu lebih menyakitkan dari pada marah atau kecewa yang disuarakan.

"Tante ngga nyangka." Akhirnya Tante Rumana bersuara. Lalu berbalik badan, duduk pada salah satu kursi panjang tidak jauh dari sel. Ku usap-usap punggungnya.

"Setelah kejadian dulu. Apakah kamu ada rasa marah ke Zila?" Aku menggeleng.

"Gimana mungkin aku marah sama Mba Zila, sementara aku sendiri ngerasa bersalah. Dan bahkan aku berpikir,memang benar Mba Zila marah seperti itu, dia korban ... Tante." Tante Rumana tidak menjawab lagi. Dia diam lama sekali. Lalu kemudian berdiri, mendekati polisi yang tadi.

"Pak, saya selaku Ibu dari korban, ingin membebaskan dia dari perkara ini." Aku,Mila, dan Valen saling tatap.

"Tante ngajarin Ikbal buat mudah memaafkan. Mengingat Ikbal saat sakit, Tante sama sekali ngga ngeliat penyesalan dalam wajahnya. Bahkan dia pun ngga tanya, 'pelakunya udah ketemu belum,Mi?'. Rasanya ngga adil, kalau Tante cuma sekadar ngajarin tanpa ngelakuin. Anak juga guru buat orang tuanya,Mir." Ucapnya sambil menepuk-nepuk pelan pipiku dengan mata yang berkaca-kaca.Benar adanya, anak yang hebat lahir dari rahim seorang Ibu yang hebat.

***

"Aku mau naik taxi online aja Mil, kalo kamu mau ikut ayok. Kalo mau sama Valen juga ngga papa." Ucapku setelah urusan di kantor polisi selesai.

"Kamu sama aku aja Mil." Valen yang lebih dulu menjawab.

"Ya udah. Duluan ya." Ucapku,lalu meninggalkan mereka.

Rasanya aku ingin berteriak sekencang-kencangnya. Ingin mencabik-cabik sesuatu, melempar apapun yang di sekitarku. Bisa dibayangkan, bagaimana perasaanku saat ada banyak rasa yang hanya sampai dikerongkongan? Sesak!

Aku menunggu taxi pesananku di pinggir jalan, sambil mengepal-ngepalkan tanganku. Aku tidak pernah merasakan emosi yang luar biasa seperti ini. Rasa kehilangan seseorang, rasa penyesalan, rasa rindu, apapun itu.

Saat taxi pesananku sampai, dan si driver mengonfirmasi, aku langsung masuk. Ternyata kali ini drivernya perempuan, aku tidak ragu lagi untuk menumpahkan air mata yang sedari tadi aku tahan. Pernah dengar bukan, bahwa Allah menciptakan perempuan dengan 9 perasaan dan 1 logika, itulah yang menyebabkan perempuan lebih perasa. Sementara Allah menciptakan laki-laki dengan 9 logika dan 1 perasaan, sehingga para perempuan menyebutnya tidak punya perasaan.

Mba driver membuka jendela sampingku, "Silakan Mba, kalau mau berteriak sekencang-kencangnya, saya paham rasanya nangis tertahan." Aku tidak berteriak-teriak, hanya saja tangisku semakin bersuara.

Sekian menit kemudian, aku sampai di pelataran pondok pesantren.
"Makasih ya Mba." Mba driver mengangguk. Langsung saja aku masuk ke asrama dan membenamkan wajah ke bantal.

***

"Mir." Suara lembut Mila menerobos gendang telingaku dengan sopan. Sentuhan tangannya di bahuku, menyeretku ke alam sadar. Rupanya tadi aku tertidur.

"Ada titipan dari Valen." Dia menyodorkan secarik kertas yang terlipat. Aku menerimanya, tapi tidak langsung membuka.

"Mil. Misal, kamu menyukai seorang laki-laki. Ternyata suatu ketika, kamu tahu bahwa dia punya kembaran. Kira-kira, mungkin ngga kamu juga suka ke kembarannya?" Mila menggeleng.

"Mungkin kembarannya itu akan sangat mudah mengingatkan aku sama orang yang aku suka. Tapi dengan adanya kemiripan secara fisik, bukan berarti aku bisa langsung suka. Karena sebenarnya, mereka itu tetap berbeda. Ada apa?"

"Istri Valen, dia mirip aku. Dia meninggal karena depresi dan tifus. Apa kamu pernah menyangka bahwa dia pernah jatuh cinta sama Ikbal, pun sebaliknya?"

"Hah!" Mila melotot. Aku berusaha untuk menceritakan ulang secara runtut,walau sering terputus karena sibuk menghela napas panjang.

"Aku bisa saja percaya kalau Ikbal emang bener-bener suka sama aku. Tapi aku ngga yakin sama Valen." Aku kembali menghela napas panjang, Mila juga jadi ikutan menghela napas panjang.

"Ngomongin Valen yang bersalib, aku juga keinget satu hal yang pengin aku ceritain. Kamu pernah menyangka ngga kalo aku mualaf?" Aku mengernyitkan dahi sambil menggeleng. Bagaimana mungkin aku mengira dia mualaf, sementara pengetahuan agamanya sangat luas dan bacaan Al Qur'an-nya bagus.

"Sebenernya aku bukan sepupu kandung Ikbal. Ayahku dulu Kristen, setelah Ayah dan Ibu bercerai, Ayahku nikah lagi sama adik dari Ayahnya Ikbal. Pada saat aku 9 tahun, Ayah mengajakku ke masjid dan diminta mengucap syahadat. Saat itu aku ngga tahu banyak, hanya sekadar ngikut aja. Terus Ayahku ngga pernah ngajak ke gereja, tapi ke masjid. Pun pada saat itu aku belum sadar.Aku baru tahu bahwa aku sudah menjadi seorang muslim saat hampir berusia 10 tahun. Terus aku ketemu Ikbal, dia ngajarin aku banyak hal. Nyeritain sejarah nabi, ngajarin baca Al-Qur'an, sampe kemudian aku ngerasa kagum sama Ikbal. " Dia kembali menghela napa panjang.

"Tapi aku sadar, kita sepupu-an. Makanya, dulu aku sangat mendukung Ikbal buat dapetin kamu, karena aku tahu dia orang baik, dan aku juga tahu kamu orang baik."

"Tapi pada akhirnya, kita sama-sama ngga dapetin Ikbal." Aku tertawa miris.

"Oya, soal tadi. Aku minta maaf ya, karna lebih milih pulang sama Valen. Karena aku rasa dia mau menyampaikan sesuatu. Terlebih dari itu ... " Mila berhenti sejenak. Seperti menahan sesak.

"Aku merindukan sosok laki-laki untuk aku ajak bercerita Mir," dia tersenyum, " Dia mengingatkan aku sama Kakakku. Sejak Ayah sama Ibu bercerai, kita udah jarang ketemu, bahkan terakhir ketemu tiga tahun lalu." Mila menyeka ujung matanya.

"Valen orangnya baik Mir, bertanggungjawab, penyayang, ramah, sayangnya beda iman." Dia tersenyum, dan kembali menghela napas panjang untuk kesekian kalinya.


"Ternyata tarik napas panjang terus dihembusin, itu sedikit menenangkan yah? Walaupun ngga bisa menyembuhkan." Dia kembali tersenyum.

Aku lega, telah berhasil menyatukan kepingan kejadian menjadi satu cerita yang utuh –layaknya menyusun kepingan puzzle menjadi gambar yang utuh– lalu menceritakan kepada orang yang tepat.

Dan lebih lega lagi karena bisa mendengar kisah masa lalu Mila yang ngga pernah aku sangka.


Aku pernah diajarkan oleh Abi untuk menjadi pendengar yang baik, kalau bisa,berusaha untuk menjadi orang yang paling terakhir berbicara, karena dari situ kita akan mendapat banyak pelajaran dan pikiran kita jauh lebih terbuka.

Santri Fall In Love || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang