23. Siapa Sangka

191 20 4
                                    

"Tadi Ikbal ngomong apa Mir?" Tanya Mila saat mereka berdua pergi.

Aku menatap Mila tajam, "Kamu sengaja kan?"

"Sengaja apa?"

"Sengaja bikin Ikbal bisa ngobrol sama aku? Atau jangan-jangan kamu juga laporan kalo kita ke sini?"

"Loh, loh... Aku ngga tau menahu loh." Dari ekspresinya aku tahu, bahwa dia sedang berbohong.

"Aku cape Mil. Harus kaya gimana lagi biar dia benci, sebenci-bencinya sampai dia ngga mau muncul lagi di hadapanku."

"Mau bersikap bagaimanapun, kamu ngga bisa bikin orang yang emang sayang buat jadi benci. Kecuali kamu bikin dia kecewa luar biasa."

"Sebenernya apa sih yang bikin kamu kaya gini?" Lanjutnya, setelah duduk di depanku.

"Ngga ada." Jawabku singkat, karena aku rasa terlalu rumit untuk dijelaskan.

"Udah mau dhuhur, ke musala yuk. Suruh kumpul di sana kan?" Mila berdiri. Kita berjalan beriringan tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Saat tiba di musala kulihat ada beberapa santri yang sudah selesai wudhu. Kami segera menuju tempat wudhu, dan beruntungnya antrian tidak panjang.

Selesai wudhu,masuklah kami ke musala, tapi sayang, kami tidak kebagian mukena. Kloter pertama diimami oleh suami Ummi Aida. Saat salat sudah selesai aku ikut salim dengan Ummi Aida.

"Belum salat ya?" Tanya Ummi usai aku mencium tangannya.

"Ngga kebagian mukena Mi."

"Ya udah abis salat langsung keluar ya, makan siang."

"Nggih Mi." Kloter pertama selesai, aku meminjam mukena salah satu santri, pun dengan Mila.

"Allahu Akbar." Aku tercengang mendengar suara imam kloter kedua. Aku yakin bahwa Ikballah yang menjadi imam.

Rakaat demi rakaat sudah ditunaikan. Usai salam kami berdoa lalu melipat mukena.

"Aku ngga tau apa yang sebenarnya ada di hatimu, dan aku juga ngga tau seberapa kadar perasaan Ikbal buat kamu. Yang aku tau dari sorot matanya adalah, dia tulus sama kamu. Tapi aku ngga akan memaksa kamu buat jadi suka sama dia." Ucap Mila saat tengah melipat mukena membuatku berhenti sesaat.

Selesai melipat mukena, kami kembali ke tempat awal, di bawah pohon beringin. Kulihat para santri sudah melahap makan siangnya, nasi padang lauk rendang.Setelah aku dan Mila mendapat jatah, kami duduk di bawah. Sambil makan, sambil mendengar cerita dari beberapa santri.

BRAK!

"Astaghfirullah, ada apa?" Seru Ummi Aida.

"Tabrak lari! Tabrak lari!" Teriak seorang pria yang entah di mana.

"Eh itu korbannya!" Seru seorang santri di depanku sambil menunjuk-nunjuk.

"Ikbal Mir!" Aku kalah cepat dari Mila. Sontak dia berdiri dan lari.

"Ummi, Izin." Setelah mendapat izin dari Ummi Aida, aku pun mengikutinya. Membelah kerumunan, lalu jongkok di samping Mila. Aku yang phobia darah sangat lemas melihat wajah  Ikbal penuh darah.

Tak lama kemudian aku melihat ambulans siaga datang. Pintu belakang dibuka, perawat pun keluar.

Setelah tubuh Ikbal diangkat, Mila berkata kepada salah satu perawat sambil berderai air mata, " Mas, saya saudaranya, saya mau ikut."

"Silakan Mba." Dan dia juga menarikku. Sepanjang jalan Mila terisak, dan air mataku pun dengan santainya mengalir.

"Pasti Ikbal ngga papa ko Mil, dia orang yang kuat." Ucapku sambil mengusap bahunya. Tapi Isak tangisnya semakin kencang.

Tak lama kemudian kita sampai di klinik. Dengan cepat para perawat membawanya ke IGD. Mila yang terus menangis membuatku tidak tahu harus berbuat apalagi selain mengusap bahunya.

'Yang kuat ya Bal, dunia mungkin berbeda tanpa adanya kamu.'

Santri Fall In Love || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang